"Ibu dimana bang?" tanyaku tanpa memperdulikan Budiman yang berdiri didepanku. Dia hanya menatapku."Lo bilang apa tadi? tuna–" ucapan Norman terputus akibat cekalan tangan Budiman ditangannya. Norman langsung melirik tajam Budiman yang dibalas dengan Budiman sama tajam juga. Mereka sempat adu tatapan beberapa detik, seperti berbicara dengan mata mereka sendiri, sampai Budiman melepaskan cekalannya dan Norman berdiri didepanku. Rahangnya mengeras, ada kilatan marah di mata Norman. Namun, tertahan.
"Ibu dirumah Bunda," jawab Budiman dengan suara datar. Sekarang tidak ada lagi ekspresi marah hanya datar. Ekspresinya yang tidak bisa kubaca selama ini. "Duduk dulu Jef," katanya lagi menyuruh Jefri duduk. Membuat Norman mengacak rambutnya.
Sekarang, aku dan Jefri duduk bersebrangan dengan Budiman dan Norman. Budiman duduk dengan tenang sedangkan Norman tampak gusar. Aku aneh, kenapa Budiman bisa setenang itu. Membuatku semakin percaya memang dia tidak pernah ada perasaan sedikitpun kepadaku. Dan yang anehnya lagi, itu mempengaruhiku. Aku kecewa.
Aku bangkit dari dudukku saat aku merasakan sesak didada. Sudah setahun, tapi aku masih tidak bisa menerima kenyataan. Padahal aku sudah bersama Jefri juga sekarang. Namun, kenapa aku sudah goyah dan ragu hanya dengan bertemu kembali dengan Budiman?
"Aku buat minum dulu," pamitku saat mereka sudah memulai pembicaraan. Lebih tepatnya Budiman dengan Jefri. Norman? dia terlalu kesal sampai lupa berbicara.
Sampai didapur, aku menemukan Bu Wewen yang sedang membuat minum dan memotong buah-buahan. Dia adalah ART dirumahku sejak aku masih kecil. Aku segera ke rak gelas saat aku melihat hanya dua gelas minuman disana.
"Kamu udah pulang Dee? bawa Mas Jefri ya?" kata Bu Wewen genit.
"Iya."
Tiba-tiba dia tersenyum yang membuatku bingung sendiri.
"Kenapa Bu Wen?"
"Enggak Dee. Ibu lucu aja gimana Mas Budi dan Mas Jefri ketemu. Pasti seru, ya?" kata Bu Wewen antusias. Sebaliknya aku merasakan jengkel.
"Ih! Ibuk ada-ada aja! kenapa harus lucu? mereka itu bukan topeng monyet Buk!" kataku tidak suka yang membuatnya hanya tertawa sambil membawakan minuman dan potongan buah yang tadi disiapkannya tanpa membawa gelas yang sudah kusiapkan tadi.
Aku berdecak kesal sambil membawa dua gelas minuman dengan nampan kembali ke ruang tamu. Disana sudah ada Anwar dan Abdul. Suasana tampak tegang. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh mereka disaat aku tidak ada disini.
Disini sudah terjadi tiga kubu, Norman dengan Budiman dan Abdul dengan Jefri. Sedangkan Anwar duduk sendirian di sofa tunggal. Aku memilih duduk di sebelah kiri Jefri.
Baru beberapa menit aku tinggal suasana tampak tegang, dan bertambah parah saat kedatanganku.
"Kalian kenapa sih?" tanyaku ingin mencairkan suasana. Membuat mereka sedikit terkejut.
Namun, tidak bagi Budiman. Dia tampak tenang.
"Enggak papa Dee. Ini cara laki-laki beradaptasi," jawab Budiman.
Beradaptasi apanya! Kalau orang lain yang lihat, mereka akan berpikir akan ada perseteruan!
"Abang mau apa kesini?" tanyaku kepada Budiman. Aku tidak tahu kenapa sinisku mulai muncul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia adalah Budimanku (Complete)
ChickLitNamaku Dea, anak bungsu dari lima bersaudara. Anak dari Pak Tommy dan Ibu Sundari. Aku satu-satunya anak perempuan dirumah selain ibuku. Ayah begitu juga abang-abangku sangat protektif terhadapku. Diusiaku yang akan menginjak umur dua puluh dua tah...