Aku dan Budiman

608 49 2
                                    

"Disuruh Anwar."

Jawaban tanpa dosanya itu membuatku kesal. Tidak aja jawaban yang lebih bervariasi apa? biasanya ada saja alasan dari mulutnya itu. Apa sekarang dia ketularan ngomong iritnya Anwar?

Aku semakin hari semakin sebal saja kepada Budiman.

"Mau aja disuruh-suruh Anwar," omelku kesal, kemudian membuang muka kearah lain.

"Kalau ini aku yang minta gimana?" gumamnya yang tidak dapat kudengar dengan jelas. Aku langsung berbalik dan menatapnya kembali.

"Apa?" tanyaku ingin memastikan sekali lagi apa yang dikatakannya barusan.

"Enggak jadi," jawabnya. Dia tersenyum yang tidak sampai kematanya.

"Kalian kenapa sih? dari tadi aku liat dari sini kayak tegang banget," tanya Olla tiba-tiba masuk kedalam lingkaran aku dan Budiman.

Aku belum sempat menyangkal pertanyaan Olla, tapi Budiman sudah menjawab pertanyaannya.

"Enggak papa, Saya dengan Dee emang biasa kayak gini, kalo dia lagi kesel sama saya," katanya menatapku sambil mengelus kepalaku. Aku ingin menepisnya, tapi aku tahan. Aku tidak ingin mempermalukannya. Sebagai gantinya aku hanya menatapnya tajam.

"Tuh, liat dia kesel sama Saya," godanya sambil tersenyum yang sekarang sampai ke dalam matanya.

"Dee jangan ngambek-ngambek dong, kayak anak SMA aja suka ngambek-ngambek," sindir Ester kepadaku.

"Aku gak ngambek kok," sangkalku. Aku berusaha mengatur ekspresi wajahku untuk tidak kelihatan marah. Dan berhasil. Mereka percaya. Namun, aku tahu Budiman pasti tidak percaya, dia pasti selalu tahu kebohonganku.

"Abang bener cuma tetangganya Dee?" tiba-tiba pertanyaan iseng Fauzan menarik perhatian yang lain. Dan tak dipungkiri aku dan Budiman juga.

Semua pandangan kearah Budiman sekarang, menunggu jawabannya. Sedangkan aku? ya tentu saja menatapnya juga. Aku juga penasaran.

Beberapa detik kemudian, sekilas dia menatapku. Secepat tatapan kami bertemu secepat itulah dia langsung mengalihkan tatapannya. Menatap mata-mata penasaran itu.

"Iya," jawabnya dengan sangat singkat yang membuat kami kecewa.

"Sejak kapan tetanggaan dengan Dee, bang?" timpal Wulan dengan pertanyaan juga.

Mulai deh, interogasi enggak penting!

"Kebetulan, Ayah saya dan Ayah Dee berteman. Dan dengan kebetulan juga mereka tetanggaan. Saya enggak tau yang pasti. Tapi, saat Dee didalam kandungan, saya termasuk orang yang menunggu kelahirannya."

Ucapannya itu membuatku sangat tertarik. Aku baru pertama kali ini mendengar langsung dari mulutnya.

"Ciee, lo udah ditunggu sebelum lahir Dee!" teriak Olla menggodaku. Dia menaik-naikkan kedua alisnya.

"Apaan sih La! norak banget!" balasku sinis.

"Terus, terus gimana ceritanya? kenapa abang nunggu kelahiran Dee?" tanya Olla lagi tanpa mengubrisku.

"Karena yang ada didalam kandungan itu bayi perempuan."

"Kenapa?" kataku tiba-tiba. Aku tidak menyadari jika pertanyaan yang hanya ada dikepalaku ternyata terucapkan.

Dia adalah Budimanku (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang