Pengakuan Budiman

559 41 3
                                    


Dalam waktu tiga bulan, pernikahanku dengan Jefri akan dilaksanakan. Ini sudah seminggu dan aku sudah disibukkan dengan urusan pernikahanku. Mulai dari baju pernikahan, undangan, tempat resepsi, pre-wed dan segala hal yang menyangkut itu semua yang kami serahkan kepada wedding organizer.

Selama seminggu itu juga aku berusaha melupakan malam itu. Malam sebelum aku bertunangan dengan Jefri. Malam yang selalu menghantuiku. Membuat rasa gelisah mengganggu tidurku.

Selama seminggu juga aku tidak berbicara dengan keluargaku. Aku hanya berbicara dengan mereka jika perlu, lain hal dengan Norman yang sama sekali tidak aku hiraukan.

Sedangkan Budiman? mendengar namanya saja bisa membuatku marah. Apalagi bertemu dengannya. Aku benci dengan Budiman yang seenaknya merenggut kebebasanku. Karena keegoisan dia aku tidak bisa merasakan kehidupan normal. Namun, kenapa aku selalu mengantisipasi, jika aku tidak sengaja melihatnya atau bertemu dengannya?

"Dee, kamu kenapa? belakangan hari ini kamu kelihatan gelisah gitu?" tanya Jefri saat kami berdua sedang dalam perjalanan menuju wedding organizer.

"Aku enggak papa, Mas. Oh, iya. Minggu depan kamu harus balik ke Kalimantan ya?" tanyaku mengalihkan arah pembicaraan.

"Iya, Dee. Kamu enggak papa kan ngurus semuanya sendirian?" katanya dengan wajah yang tidak enak. Dia merasa bersalah.

"Enggak papa. Aku nanti sama Bu–Olla aja," kataku tercekat saat aku ingin menyebut nama Budiman. Kenapa aku dengan bodohnya ingin menyebut namanya?

Wajah Jefri kini terlihat datar. Dia pasti marah. Dia diam dan memilih fokus kejalanan.

"Dee kalau kamu ada masalah, jangan segan bilang sama aku. Aku itu Mas-mu, calon suamimu," kata Jefri terdengar seperti peringatan.

"Enggak ada masalah kok, Mas," ucapku dengan jeda yang cukup lama. Dia tampak ragu dengan jawabanku. Dia seperti mencurigaiku. Namun, aku segera menggenggam tangan kiri Jefri di kopling mobilnya. Aku tersenyum memintanya untuk tidak khawatir.

Setelah menyampaikan keinginan kami berdua kepada Mbak Hilda WO yang membantu pernikahan kami. Aku dan Jefri memutuskan pulang.

Aku melihat mobil Budiman terpakir di car-port. Saat aku pergi tadi, mobilnya tidak ada di halaman rumahnya. Tidak tahu kenapa, hanya melihat mobil Budiman membuatku kembali resah dan tidak tenang. Jantungku akan berdetak lebih cepat dari biasanya dan membuatku gelisah.

"Enggak masuk dulu?" tanyaku ketika Jefri tidak memasukkan mobilnya di halaman rumahku.

"Ada yang mau aku urus dulu Dee, nanti malam aku datang kerumah," jawabnya yang membuatku sedikit kecewa. Aku butuh Jefri untuk menjadi tamengku saat Budiman ada disekitarku.

"Yaudah, hati-hati ya Mas," kataku kemudian aku mencium punggung tangan Jefri. Aku keluar dari mobilnya dan melambaikan tangan saat mobil Jefri sudah melaju.

"Gimana persiapannya Dee?" tanya Ibuku ketika aku masuk kedalam rumah.

"Lancar Bu, semuanya udah beres tinggal pre-wed nanti setelah Mas Jefri pulang dari Kalimantan," jelasku kepada Ibu. Aku masih merasa canggung saat Ibu terlebih dahulu berbicara denganku.

"Minggu depan ya Jefri ke Kalimantan?"

"Iya."

Suaraku masih saja terdengar dingin, bahkan ditelingaku sendiri. Aku menatap wajah Ibu yang sedari tadi berusaha untuk kuhindari. Ada kilatan sedih dimatanya. Dia tampak sedih dan itu menyayat hatiku.

"Kamu nanti ikut Jefri ke Kalimantan?" tanya Ibuku hati-hati. Aku tahu dia pasti mewanti-wanti ini, karena memang sudah rencanaku yang akan ikut dengan Jefri. Namun, rencana itu masih saja ditolak oleh Jefri dengan alasan —Ibuku bakalan kesepian karena ditinggal oleh anak perempuannya. Jefri ada benarnya juga.

Dia adalah Budimanku (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang