Bonus: Rumahku

810 48 0
                                    

"Aku udah enggak mau dengar lagi! malam ini, malam lamaranku dengan Jefri. Aku enggak pernah dengar dan tahu semua ini. Kita anggap ini enggak pernah terjadi," ucapan Dee membuatku seperti disambar petir. Dia sudah tidak mau lagi mendengarkanku. Dia sudah muak denganku. Aku tahu karena itu sangat jelas dimatanya saat menatapku.

Aku hanya diam, menatap kepergiannya. Dia bahkan menutup telinganya, enggan mendengarkan panggilan Norman. Aku juga sudah tidak perduli dengan Norman yang masih bersikeras menyuruhku untuk mengejar Dee. Sampai aku menyadari kedatangan Jefri dan keluarganya bahwa Dee malam ini dipinang oleh laki-laki lain.

-------

"Bangun kamu Al," suara Bunda terdengar samar-samar ditelingaku. Ini sudah tiga hari saat kejadian itu. Aku tidak pernah lagi bertemu dengan Dee. Dia juga tidak mau bertemu denganku. Jadi, aku berusaha untuk menghindarinya.

"Bangun, Al. Kamu boleh patah hati tapi enggak gini caranya," ucapan Bunda membuat aku menutup kepalaku dengan selimut.

"Biasanya kamu jam segini udah bangun, udah pergi ke mesjid untuk subuh," aku mendengarkan Bunda yang duduk di ujung ranjangku.

"Bunda juga faham kenapa kamu jadi kayak gini, Bunda juga sedih kalau Dee enggak jadi menantu Bunda. Tapi kita bisa apa Al, kita serahin aja sama Allah. Kalau Dee itu beneran jodohmu, sekalipun dia nikah besok, bisa batal kalau udah kehendak Allah."

Ucapan Bunda membuatku langsung bersuara, "Bunda kok ngomongnya gitu? enggak baik."

"Yah, mau gimana lagi? kamu kayak kehilangan semangat gitu, terpaksa Bunda ngomong gitu. Intinya, kamu itu jangan jauhin Allah, tapi minta yang terbaik," nasehat Bunda yang membuat aku langsung berpikir. Bunda benar, karena masalah ini, sejenak aku lupa dengan keberadaan-Nya.

"Yaudah, kamu bangun terus subuh gih. Waktunya udah mau abis," suruh Bunda sambil memukul kakiku pelan. Kemudian dia bangkit dan keluar dari kamarku.

------

"Walaikumsalam, ada apa Ta?" kataku ketika ponselku berdering sudah dari tadi.

"Gimana? udah baikan dengan Dee? maaf banget gue. Gue udah keterlaluan," kata Tatia diseberang telepon. Dia kelihatan menyesal.

Sebenarnya, aku tidak mau menceritakan ini kepada Tatia, tapi entah mengapa aku menceritakan semua hal yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Dia merasa paling bersalah, karena itu semua adalah ide gila Tatia. Namun, itu juga kesalahanku juga. Aku bisa menolak waktu itu, tapi aku tidak.

"Rasanya gue mau pindah aja Ta. Enggak sanggup gue liat Dee jalan sama cowok lain. Hati gue enggak rela. Padahal udah mati-matian gur nahannya, tapi gue takut gagal dan malah semakin nyakitin Dee," curhatku yang didengar dengan setia oleh Tatia.

"Yaudah pindah aja," satu kalimat dari Tatia membuatku membeku.

"Pindah kemana monyong!" kataku sedikit kesal, dia tertawa.

"Ke Jakarta lah, kerjaan lo masih belum selesai. Lagian posisi lo masih kosong disini," katanya tenang.

Tawaran Tatia sangat menggiurkan, membuatku tertarik, tapi...

"Serius lo? tapi enggak papa tuh? gue seenaknya mutasi kekantor pusat," kataku terlihat ragu.

"Lo kayak enggak kenal gue aja!" katanya sinis.

Dia adalah Budimanku (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang