30 - Bukan Romi

3.4K 275 6
                                    

TOK tok tok.

Fadel mondar-mandir dengan gusar, usai mengetukkan tulang jari tengahnya ke pintu depan rumah Romi dan Rima.

Tok tok tok!

Kali ini Fadel mengetuknya lebih kuat, melampiaskan amarahnya yang mengisi hatinya.

"Berisik! Siapa sih malem-malem dat--

Bugh!

Satu bogeman mendarat mulus di pipi kanan Romi. Romi sendiri yang merasa tak memiliki salah, membelalakkan matanya ke arah Fadel sambil memegangi pipinya.

"Lo dateng dan mukul?" Romi terkekeh remeh. "Kenapa? Lo cemburu karena soal kemarin?"

Fadel menyeringai. "Kemarin?" Fadel meludah. "Lo gak usah sok gak tau dengan apa yang terjadi."

Romi mengernyitkan dahinya, tak sepenuhnya mengerti dengan ucapan lelaki yang di hadapannya, yang menampakkan napas yang tak karuan dan mata yang jelas mencerminkan sebagaimana besar amarahnya kini.

"Gue gak tau." sahut Romi menyandarkan tubuhnya ke tembok di sebelah pintu, lalu melipat kedua tangannya.

Fadel segera merogoh saku jaketnya, mencari sebuah benda yang satu-satunya bisa menjadi bukti.

Fadel menyodorkn hapenya, memperlihatkan sebuah pesan yang diterimanya beberapa jam yang lalu.

Romi terbelalak melihat pesan itu.

Untuk sejenak, ia mematung.

"Udah? Lo udah selesai ngelesnya?" Fadel tertawa mentah. "Lo beritahu dimana Dela atau gue bunuh sekarang juga."

Romi mengerjap, menetralkan pandangannya. "Gue gak ngelakuin itu."

Bugh!

Untuk kedua kalinya, Fadel melampiaskan amarahnya ke pipi milik Romi.

"Brengsek! Gue udah bilang bukan gue!" sahut Romi setengah berteriak, lalu membalas bogeman yang Fadel daratkan di pipinya, untuk barusan dan tadi.

"Lo cukup ngaku ke gue." kata Fadel lagi, membuat Romi terkekeh remeh.

"Gue memang tertarik ke cewek lo, tapi gue gak serendah itu sampai menjadi perusak hubungan kalian." ujar Romi menghela napas. Seketika napasnya sesak, ketika mengutarakan kebenaran yang memang berasal dari lubuk hatinya.

Fadel mematung, sungguh bingung dengan situasi kini.

"Jadi, bukan lo?" Fadel mulai merenggangkan telapak tangannya yang sedari tadi mengepal kuat, yang selalu siap memukul Romi.

Romi mengangguk, lalu berdeham.

"Tapi, ada beberapa kemungkinan." ucap Romi sedikit meringis saat memegang pipinya yang tampak sedikit membiru.

Fadel menatap Romi dengan lama, meminta kelanjutan ucapan lelaki itu.

"Pertama, dia benci ke lo dan Dela ..." Romi menggantungkan ucapannya sejenak, "Yang kedua, dia tau soal seputar hubungan lo dan Dela, sampai dia tau dengan detail kalau gue tertarik ke Dela."

Fadel terdiam. Ucapan Romi barusan, memang ada benarnya.

"Oke ..." Fadel menarik napasnya panjang, "Gue harus cari dia. Sori nuduh sembarangan, gue ... bakal nyari Dela sampai ketemu."

Romi menarik lengan jaket Fadel, ketika lelaki itu hendak pergi.

"Gue ikut dengan lo," ujar Romi, menyisakan dua kerutan di dahi Fadel. "Lo gak mungkin bisa nemuinnya sendiri, kan? Gue bakal bantu lo."

Fadel tersenyum ringan. Beginilah yang ia ingini, Romi yang dulu. Romi yang memang selalu bersikap kasar, namun selalu siap siaga membantunya di kesulitan.

🌹

"DEL, sejauh ini gue masih belum nemuin apa-apa."

Fadel berdecak kesal ketika mendengar ucapan itu dari seberang sana, dari Toni. Memang, usai mendengar berita dari Fadel, Toni dan Mei pun ikut cemas dan ingin membantu mencari Dela.

Mei sampai nekad pulang lebih awal, demi mencari sahabatnya. Beruntung, pihak rumah sakit memperbolehkan karena lukanya memang tak terlalu parah.

"Hh ..." desah Fadel sambil mengacak rambutnya. "Oke, makasih, Ton."

Romi pun kini tengah mencari berbagai informasi yang mungkin bisa ia temukan melalui hapenya, mulai dari GPS yang akan menyambungkan hape Fadel dengan Dela, sampai menelepon pihak rumah sakit apakah mengetahui kemana arah perginya Dela usai pergi dari rumah sakit tersebut.

Fadel mengernyitkan dahinya ketika melihat seorang lelaki paruh baya di depan Cafe yang baru saja mobilnya lewati.

Dia itu ...

"Gue juga masih nemuin apa pun." Romi berdecak, sambil menghela napasnya.

Fadel hanya diam, tak ada respon untuk ucapan Romi.

"Gue mau singgah sebentar, lo di sini aja?" tanya Fadel usai memarkirkan mobilnya di tepian jalan raya.

Romi hanya mengangguk, dengan mata yang masih fokus ke layar hapenya.

Usai menutup pintu mobil, Fadel segera berjalan ke arah seseorang yang memang menjadi penyebab dirinya berhenti.

Dia, Om Aldo, suami baru dari Kintan, Mamanya Dela. Mengapa dia di sini? Bukankah dia tinggal di Singapura?

Fadel berjalan pelan sekali, berusaha agar lelaki bertubuh besar itu tak melihat dirinya. Setelah menutup rambutnya dengan topi jaket dan matanya dengan kacamata hitam, Fadel berjalan untuk duduk di kursi yang sedikit jauh dari posisi lelaki itu kini, untuk sedikit mengawasi.

Entah kenapa, instingnya bergerak ke lelaki itu.

"Kamu jatuhkan anak itu dari tebing, saya ke sana sebentar lagi. Ini ada urusan." ujar Aldo dengan seseorang yang ada di seberang sana.

Deg!

Fadel memegangi jantungnya yang mendadak sakit, usai mendengar ujaran lelaki ini.

Sungguh, ia ingin secepatnya membunuh pria ini sekarang juga, di sini juga. Tapi tidak, dia masih punya akal sehat. Dan jika dia melabraknya di sini, semuanya akan menjadi lebih buruk.

Fadel segera berlari menuju mobilnya semula, melepas kacamatanya, lalu memasuki mobil.

"Kenapa lo? Lo cuma duduk di sana." kata Romi setengah diliputi rasa bingung, melihat Fadel yang dinilainya aneh.

"Gue tau, Dela di mana."

FADELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang