Lamaran

19.3K 1.5K 17
                                    

"Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan menyetujuinya, Ayahanda." Suara lantang itu menggema memenuhi Aula Faguang. Membuat siapa saja yang mendengarnya menunduk takut. Pasalnya tak biasanya mereka mendengar riuh teriakan di istana, terutama di Aula Faguang yang merupakan kediaman pribadi Raja Guangshu.

"Kita tidak punya pilihan lain, Xiaoli. Kekaisaran Jin sangat kuat dan berkuasa. Hampir mustahil bagi kita meraih kemenangan jika perang sampai pecah." Seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan anggun menyentuh pundak putranya.

Putra Mahkota Xiaoli yang terkenal ramah dan dermawan itu memang jarang menunjukkan kemarahan dikarenakan sifat lembut sang adik yang selalu menenangkannya setiap ada masalah yang datang. Bahkan jika ia sampai menunjukkan amarah, biasanya ia akan langsung melunak jika sang ibunda sudah turun tangan untuk meredakan amarahnya. Akan tetapi, sepertinya kali ini amarah sang putra mahkota tidak akan mampu diredam oleh siapa pun.

"Aku tidak peduli, Ibunda. Lebih baik aku mati di medan perang daripada harus menyerahkan Xiara-ku pada kaisar kejam seperti Li Qiang," geram Putra Mahkota Xiaoli dengan tangan mengepal. Rahangnya mengeras seolah menunjukkan bahwa ia sudah benar-benar marah saat ini.

Sudah menjadi rahasia umum jika putra mahkota Kerajaan Guangshu itu teramat menyayangi Putri Xiara yang merupakan satu-satunya adik perempuannya. Tidak heran ia menjadi marah setelah mendengar permintaan sang ayah yang terdengar sangat tidak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin Xiaoli bisa mengorbankan adik yang begitu ia sayangi dan menyerahkannya pada Kaisar Jin hanya untuk mencegah terjadinya perang.

"Hati-hati dengan ucapanmu, Putra Mahkota. Kaisar Li Qiang tidaklah seburuk yang kau pikirkan." Raja Gui mengingatkan putranya. Ia bukan tidak menyayangi sang Putri. Bagi Raja Gui kedua anaknya bahkan lebih berharga dari kekuasaan dan takhta. Raja Gui sendiri sebenarnya tak rela mengorbankan putrinya. Namun, sebagai seorang raja, ia harus mengutamakan kepentingan rakyat di atas apa pun. Termasuk masa depan putrinya sendiri.

"Yang Mulia, utusan dari Kaisar Li Qiang telah menunggu di istana Shanming." Perdana Menteri Cong yang baru saja memasuki Aula Faguang berlutut di hadapan Raja Gui. Membuat semua anggota keluarga kerajaan yang berada di dekat sang Raja mengalihkan atensi padanya. Tak terkecuali Putri Xiara yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan kakak dan kedua orang tuanya.

"Pergilah, Perdana Menteri. Temui dia dan sampaikan bahwa Guangshu telah menerima pinangan dari Kekaisaran Jin!"

Ucapan lembut namun penuh ketegasan dari sang Putri membuat perdana menteri tanpa sadar mengangkat kepalanya. Ia menatap tuan putrinya dengan tak percaya. Putri Xiara hanya tersenyum tipis. Ia memutar pandangannya pada ketiga pasang mata yang kini tengah menatapnya dengan tatapan serupa.

"Xiara, kau-" Putra Mahkota Xiaoli menggantungkan ucapannya. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan sang adik.

"Kakak, sekarang ini pasukan Kekaisaran Jin yang jumlahnya puluhan kali lebih besar dari pasukan kita telah menunggu di perbatasan dan siap untuk menyerang." Putri Xiara kembali mengingatkan sang Kakak tentang kabar yang baru saja mereka terima Panglima Kerajaan Guangshu. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri Putra Mahkota Xiaoli yang tengah berdiri di samping Ratu Xian, ibundanya.

"Jika perang sampai terjadi maka rakyat Guangshu-lah yang akan menderita," ucap putri Xiara lagi ketika tak didapatinya tanggapan dari sang kakak. Ia meraih tangan Putra Mahkota Xiaoli dan menggenggamnya dengan penuh kasih sayang.

"... dan sebagai Putri dari Kerajaan Guangshu, aku tidak bisa membiarkan hal itu sampai terjadi. Bahkan kau pun tak akan membiarkannya, bukan?" lanjutnya.

Putra Mahkota Xiaoli tetap diam, tampak tenang. Namun, tangan yang terkepal erat di samping tubuhnya dengan jelas menunjukkan bahwa suasana hati sang pewaris Kerajaan Guangshu itu sama sekali tidak tenang.

"Lagi pula usiaku sudahlah cukup untuk menikah." Putri Xiara kembali berucap. Memotong jeda dari pertanyaannya yang tak disambut dengan jawaban dari Putra Mahkota Xiaoli. Bibirnya mengukir senyum manis yang sama sekali tidak terlihat dipaksakan.

"Kalau pun  kau harus menikah, maka aku sendiri yang akan menikahkanmu dengan pangeran terbaik di timur. Bagaimana mungkin aku bisa merelakan adikku yang berharga menjadi seorang selir." Putra Mahkota Xiaoli masih keras kepala. Ia menatap wajah cantik adiknya dengan tatapan sayu.

"Apa gunanya menikah dengan seorang pangeran, Kakak? Sebagai seorang putri yang terpenting bagiku adalah rakyatku. Aku akan lebih bahagia menjadi selir demi kesejahteraan rakyat dibanding harus menjadi ratu tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk rakyat Guangshu yang telah begitu menyanjung Tuan Putri mereka ini."

Putra Mahkota Xiaoli tertegun mendengar ucapan sang Adik. Jika sudah begini ia tidak akan bisa membantah lagi. Adiknya memang terlalu baik. Rakyat Guangshu haruslah bersyukur karena memiliki seorang putri seperti Xiara. Tuan Putri Kerajaan Guangshu itu bukan hanya berparas ayu dan berperangai baik. Ia juga cerdas dan berbudi luhur.

Raja Gui menghela napas berat. Ia sungguh terenyuh melihat ketulusan hati putrinya. Ia tamu sang Putri memang memiliki hati bak emas yang membentang seluas lautan. Namun ia sama sekali tak menyangka Putri Xiara akan menerima begitu saja dirinya dikorbankan demi kesejahteraan rakyat Guangshu.

Terlintas di pikiran Raja Gui untuk bersikap egois dan menolak lamaran itu saat ini juga, tanpa peduli apa pun risikonya. Namun, naluri pemimpinnya kembali menyadarkannya. Ia tidak mungkin menghianati kepercayaan rakyat yang telah begitu mengagungkan namanya selama ini.

"Putriku, kau harus tahu Ayah dan Ibumu ini sangat menyayangimu, tapi kami sungguh tidak bisa berbuat banyak kali ini. Andai saja kau menerima pinangan Pangeran Weimin dari Kerajaan Hu musim semi lalu, tentu engkau tidaklah harus berada dalam situasi ini," ucap Raja Gui dengan penuh penyesalan. Putri Xiara kembali mengembangkan senyumnya. Ia melepaskan tangan Putra Mahkota Xiaoli dan beralih memeluk sang Ayah.

"Ayahanda, takdir telah menuntun jalanku. Mungkin Yang Kuasa memang menginginkanku untuk menjadi selir dari Kaisar Jin."

***

Semburat merah muda yang bercampur warna oranye telah menghiasi langit, pertanda bahwa matahari akan segera kembali ke peraduannya. Ibu Suri Juan bangkit dari duduknya dan menatap cemas ke arah gerbang utama istana yang tertutup rapat.

"Tenanglah, Ibunda! Matahari bisa terbenam lebih cepat jika Ibunda terus menunjukkan ekspresi seperti itu."

Ibu Suri Juan berbalik dan mengalihkan atensinya pada putra semata wayangnya yang masih saja duduk tenang di atas singgasana berlapis emas miliknya. Ia menghela napas kasar dan menjauh dari jendela, menghampiri Kaisar Li Qiang.

"Bagaimana wanita tua ini bisa tenang jika Anda turut menyertakan sembilan ribu pasukan siap perang bersama dengan lamaran Anda, Yang Mulia?" Ibu suri Juan menghela napas kesal. Kaisar Li Qiang hanya membalasnya dengan sebuah senyuman. Ia kembali menyesap teh bunga teratai dengan tenang.

"Yang Mulia, Panglima Huang meminta izin untuk menghadap." Seorang prajurit istana yang memang bertugas untuk menjaga pintu kediaman Kaisar menunduk hormat setelah memberi laporan.

"Biarkan masuk!" perintah Kaisar Li Qiang tanpa mengalihkan pandangannya dari cangkir porselen yang ada di tangannya.

Belum sampai memberi hormat, Panglima Huang yang baru memasuki ruang utama Istana Yang sudah disambut oleh pertanyaan dari Ibu Suri Juan yang tampak begitu penasaran.

"Katakan, Panglima Huang! Apa mereka menerima atau menolaknya?"

Panglima Huang tak melupakan sopan santunnya dan memilih membungkuk hormat pada kedua junjungannya sebelum menjawab pertanyaan Ibu Suri dengan kepala tertunduk.

"Putri Kerajaan Guangshu telah menerima pinangan Yang Mulia Kaisar Li Qiang."

Kaisar Li Qiang tersenyum angkuh sementara Ibu Suri Juan hanya bisa menggelengkan kepala menghadapi sikap putra yang sudah sangat dikenalnya.

"Segera tarik mundur pasukan kita, Liang!" Kaisar Li Qiang berkata lantang. Ia lalu melirik ibundanya dengan senyum kemenangan. "Nah Ibunda, bukankah sekarang waktunya menyiapkan pesta penyambutan untuk menantu barumu?"

•••

My DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang