Musim semi di Marquessate Riverdale merupakan musim yang selalu ditunggu-tunggu. Bunga honeysuckle bermekaran di sepanjang jalan. Bunga dandelion juga menyebar luas di area barat daya dan kerap kali menjadi tempat bersantai. Danau yang empat tahun yang lalu sengaja dibuat tampak memanjakan mata dengan pohon apel dan ceri yang hampir selalu berbuah.
Udara berubah menjadi manis dan segar. Burung-burung berkicau dan bermain dengan riang di sudut-sudut kolam air kecil yang menyebar di taman Mansion Riverdale.
Bastien selalu menyukai musim semi. Dan menurutnya, sangatlah merugi jika cuaca seindah itu harus ia habiskan mendekam di dalam ruang kerjanya. Berteman dengan tumpukan laporan dari para penyewa pondok dan laporan pengolahan ternak dan pertanian.
Menghela napas lelah. Bastien melepas kacamata bacanya. Memijat tengkuknya yang terasa keram dan bersandar ke belakang. Matanya menatap ke arah luar melalui jendela. Ia melihat masternya, Jeremi Wood, Marquess of Riverdale baru saja pulang dari kegiatan berkuda bersama kedua buah hatinya, Phineas Wood yang berumur sembilan tahun, dan Arabela Wood yang baru saja menginjak lima tahun.
Bastien bisa mendengar pekik senang Lady Arabela dari tempatnya dan teriakan Phineas yang terdengar marah karena kalah dalam balapan dengan sang ayah yang berkuda bersama Lady Arabela.
Kemudian tawa Jeremi Wood terdengar lepas. Membuat Arabela ikut terkikik bersamanya. Dan kemudian, Bastien bisa menduga bahwa sang marchioness, Lady Wilona Wood kemudian mendatangi mereka. Menegur kebiasaan balapan yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Seketika mereka terdiam dan membiarkan sang ibu memberikan ceramahnya.
Bastien menutup matanya. Bersandar dan menghirup udara manis yang melewati indranya. Ia bisa membayangkan bahwa sebentar lagi, putra ketiga Marquess Riverdale yang baru berusia satu tahun, Lord Daniel Wood menangis, merengek menginginkan perhatian sang ibu dan membuat sang marchioness berhenti marah.
Bastien lalu tergelak setelah lima menit kemudian, hal itu benar-benar terjadi.
Menyesap teh hijau yang pengurus rumah berikan kepadanya, Bastien akhirnya kembali melanjutkan pekerjaannya. Ia harus menyelesaikan untuk memeriksa neraca yang dibuat oleh akuntan mereka agar besok, Bastien bisa bermain bersama Phineas.
Bastien masih fokus dan menemukan adanya ketimpangan dalam jumlah pengeluaran dan pemasukan. Mencatat bahwa ia harus menemui sang akuntan. Ketika pintu ruang kerjanya terbuka tanpa diketuk, Bastien mendongak dan menemukan wajah Phineas yang memerah karena sinar matahari.
"Bastien, apa kau belum juga selesai?" ujarnya dengan congkak. Kedua tangannya berada di pinggangnya dan ia mengernyitkan hidungnya. Melihat tumpukan dokumen yang terlihat seperti gunung di meja Bastien.
Bastien tertawa. Melihat bahwa masternya berubah menjadi pria kecil berusia sembilan tahun yang menyebalkan, namun menggemaskan di saat yang sama.
"Kau lihat sendiri sebanyak apa pekerjaanku, Phin."
Phineas mendengkus. Berjalan dan duduk di depan meja kerja Bastien.
Menarik napas, Bastien bisa menghirup aroma matahari dan madu dari Phineas. Aroma yang mengingatkannya pada masa kecil.
Bastien lalu tersenyum kecut. Seandainya ia memiliki masa kecil seindah Phineas.Tetapi Bastien tidak akan iri. Merupakan sebuah berkat dari Tuhan bahwa saat ini ia berada di antara orang-orang ini. Orang-orang yang tulus dan menyayanginya tanpa pamrih meskipun ia hanyalah seorang Bastien.
Bastien sudah bersumpah untuk mengabdi kepada sang master saat usianya dua belas tahun. Dan setelah tiga belas tahun kemudian sang master memiliki keluarga yang sempurna, kesetiannya pun menjadi milik keluarga ini.
![](https://img.wattpad.com/cover/105987798-288-k161564.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastien Adam [Completed]
Historical Fiction❤ Bastien Love Story [Pertama kali dipublikasikan di akun Hai2017]