B. A. | A. G. I. L. | 5

6.1K 745 10
                                    

Mira merasa napasnya hampir habis. Belum selesai ia bisa mencerna apa yang terjadi, Bastien lalu melepas pagutannya. Membuat Mira dengan susah payah menarik napas panjang sebelum ia pingsan.

Dan pingsan adalah hal terakhir yang ingin Mira lakukan saat ini.

Mendongakkan kepalanya, ia melihat wajah Bastien yang tersenyum lebar kepadanya. Hal itu entah mengapa membuatnya marah.

Amat sangat marah.

Mira lalu mendorong tubuh Bastien. Menampar pipinya di detik selanjutnya dan ia mendengar bunyi kesiap yang muncul dari dirinya sendiri.

"Oh tidak! Ya Tuhan...." Mira mengerang keras. Berlari keluar dan samar-samar, ia mendengar suara umpatan dari Bastien sebelum ia mengejarnya dan memanggil namanya.

"Mira, maafkan aku," kejar Bastien. Ia berjalan cepat berusaha menyamai langkah Mira dan rasanya, Mira ingin sekali kembali ke danau tadi dan menenggelamkan dirinya di sana.

"Mira, kumohon maafkan aku," tukas Bastien lagi.

Mira tetap tidak memedulikannya. Berjalan menyusuri lorong dan berniat untuk pergi ke istal.

Sekarang pun rasanya ia tidak akan peduli mengenai keharusan mengirimkan Sword untuk proses perkawinan, karena ia akan mengendarinya ke penginapan Mr. Abignale.

Mira tidak lagi membutuhkan waktu tiga harinya untuk berpikir ulang karena sekarang juga ia akan pergi.

Persetan dengan Bastien.

Ia tidak tahu sejak kapan, tapi air mata sudah meluncur turun di pipi Mira. Bastien yang melihatnya, mengumpat sekali lagi. Dan kali ini, ia benar-benar menyesal melakukan ciuman tadi.

Ya ampun, ia tidak berniat membuat Mira lari dan ketakutan seperti ini karena tujuannya hanyalah membuat gadis itu mendengarkannya. Mengenai perasaan Bastien yang ingin menjadi kekasih Mira, itu bukan kebohongan karena dirinya memang ingin mengakui, bahkan menandai Mira untuk menjadi miliknya.

Bastien mengerang panjang ketika merasa cekalan di lengannya yang membuatnya berhenti. Menengok ke arah belakang, ia menemukan sang master sedang menatapnya dengan pandangan tidak senang. Di belakangnya, terdapat pula Fredinant yang meringis dan membuat Bastien ingin sekali mempora-porandakan struktur wajahnya. Ia lalu meneruskan tatapannya ke belakang Fred dan menemukan wajah merengut Phineas.

"Istriku tidak akan suka dengan apa yang telah kau lakukan," gerutu sang master kesal.

Jeremi lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Ia menoleh ke arah Fredinant dan mengangkat sebelah alisnya.

"Mari kita bicara," katanya dan melepaskan cekalannya di lengan Bastien sementara ketiga laki-laki di belakangnya berjalan mengikutinya dengan patuh seperti prajurit yang kalah berperang.

Mereka bertiga lalu berdiri di hadapan Jeremi sementara dirinya duduk di singgasananya dengan kaki menyilang dan tangan yang mengetuk-ngetuk permukaan sisi tempat duduknya.

Ia lalu melihat wajah satu persatu laki-laki di depannya. Wajah Bastien yang terlihat tersiksa, wajah Fredinant yang meringis seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, dan wajah Phineas yang merengut dan berkali-kali melemparkan tatapan tidak suka kepada Fredinant. Nah untuk kasus yang terakhir, hampir membuat Jeremi tertawa karena melihat ekspresi yang ada di wajah anaknya tersebut. Ia seperti melihat wajahnya ketika melihat seseorang yang mengganggu Kate adiknya.

Jeremi lalu berdeham. Menahan keinginannya untuk mengacak rambut berwarna mahoni milik Phineas, membawanya duduk di hadapannya dan menyuruhnya bercerita. Yah lagi pula, di hadapan Bastien dan seseorang bernama Fredinant tersebut, Phineas pasti tidak mau diperlakukan seperti anak kecil.

Bastien Adam [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang