Fredinant diam-diam melirik ke depannya. Melihat rahang Bastien yang mengeras dan membuat Fredinant kembali bungkam. Ia ingin mengganggu sepupunya, paling tidak Bastien yang marah lebih baik daripada dirinya yang diam seperti ini.
Mereka sedang beristirahat dan berada di sebuah penginapan. Berniat untuk menginap selama semalam sebelum besok kembali menempuh perjalanan ke mansion Gerrald.
Fred lalu tersentak saat Bastien menghentakkan sendok supnya ke meja, kemudian berdiri dan berjalan ke kamarnya.
Ia hanya bisa menghela napas. Melihat pundak Bastien yang semakin menjauh dari pandangannya dengan pasrah. Biarlah Bastien mendiamkannya, mengangapnya tidak ada atau bahkan marah terhadapnya. Asalkan Fred bisa membawanya menemui sang kakek, sekaligus membuat dirinya menepati janjinya kepada ibunya --yang merupakan adik ipar dari ayah Bastien-- itu sudah cukup.
Fred bisa membayangkan ibunya yang tersenyum kepadanya dan sang kakek-
Fred tersenyum kecut. Dirinya tahu sekeras apa kakeknya karena saat dirinya kecil, Fred selalu mendapat tekanan untuk menjadi bangsawan yang sempurna di mata sang kakek. Ia tidak terlalu menyukai kakeknya, tapi darah selalu lebih kental dari air.
Fred akhirnya mengakhiri acara makannya, mengikuti Bastien dan kembali ke kamarnya.
Mereka sampai di estat keluarga Gerrald pada sore hari. Mansion Gerrald masih terlihat sama sejak enam bulan yang lalu, Fred meninggalkannya untuk mencari keberadaan Bastien. Fred berhasil melacak Bastien empat bulan yang lalu, dengan keras kepala meyakinkannya dan menyadarkannya bahwa darah bangsawan, masih mengalir di nadinya.
Fred bahkan mendapatkan banyak luka memar di wajahnya karena amukan Bastien kepadanya. Dan satu hal yang Fred sadari, Bastien mengetahui perihal asal usulnya. Hanya saja, ia menutupinya dengan baik selama ini dan menjadi marah ketika seseorang mengingatkan mengenai hal tersebut.
Fred tahu, bahwa tidak ada alasan bagi Bastien mengakui garis darahnya. Kakeknya sendiri --yang seorang bangsawan-- telah menyebabkan penderitaan kepada dirinya. Membuatnya kehilangan kedua orangtuanya, dan hak yang seharusnya ia dapat sejak dirinya lahir.
"Mari kita masuk," ujar Fred ketika Bastien masih menatap bangunan besar di depannya.
Bastien tidak bersuara, hanya mengikuti Fred dengan patuh dan perasaan campur aduk di dalam dadanya.
Seorang pelayan perempuan yang sudah tua menyambut mereka. Sikap hormat yang sebelumnya pelayan itu tunjukkan lalu hilang dan digantikan rasa terkejut ketika melihat rupa Bastien.
"Milord!" ucapnya takjub. Pelayan itu tanpa disadari memeluk tubuh Bastien. Membuat Bastien bingung karena mendengar isak tangis kemudian.
"Ya Tuhan. Maafkan saya, Milord," ucap pelayan itu begitu sadar dirinya telah memeluk tuannya.
Bastien masih diam. Hendak mengatakan bahwa segalanya baik-baik saja ketika sang pelayan kembali bersuara.
"Anda sangat mirip dengan Tuan Sebastian. Maafkan saya," katanya lagi.
Bastien melirik ke arah Fred yang mengendikkan bahunya. Menyerahkan segalanya kepada Bastien.
Menghela napas panjang, Bastien menepuk pundak pelayan itu. Mengatakan tidak apa-apa dan hanya ditanggapi dengan isak tangis yang semakin menjadi.
"Tidak apa-apa Tarina, sebaiknya kau segera ke belakang karena dia harus menemui yang lainnya," ujar Fredinant kepada pelayan itu. Tarina mengangguk dan berbalik untuk meninggalkan kedua tuannya dengan tangis yang masih tersisa.
"Sambutan yang baik, bukan?" kata Fredinant sembari menyeringai. Bastien hanya berdecak dan mengikuti Fredinant yang membawanya ke ruangan santai.
Fredinant mendorong pintu ganda. Suara riuh yang sebelumnya sedikit terdengar langsung senyap ketika mereka semua melihat Bastien di bibir pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bastien Adam [Completed]
Historical Fiction❤ Bastien Love Story [Pertama kali dipublikasikan di akun Hai2017]