[21] The Real Story

7.3K 689 60
                                    

MALAM menjelang. Langit sudah berubah gelap dan Ferris tampak semakin gelisah. Di ruang tengah, dia sudah mondar-mandir sambil terus melirik jam dinding. Beberapa kali dia mencoba menghubungi melalui ponselnya tapi yang didapat justru semakin membuatnya kalut.

“Kak, mungkin Kak Adel lagi di jalan.” Farrel yang ikut menemani beberapa kali mencoba menenangkan si sulung. Tapi sesungguhnya dia sama gelisahnya dengan Ferris.

“Setidaknya dia ngabarin Kakak kalo mau pulang seterlambat ini,” gumam Ferris seraya menghentak kasar napasnya. “Ya ampun, Adel ke mana, sih?” sudah kesekian kali dirinya mendumal tiap kali sambungan telepon di ponselnya berubah dialihkan.

Ferris tidak bisa diam saja. Firasatnya semakin tidak enak. Buru-buru dia mengambil kunci mobil di dekat televisi yang menyala tanpa minat ditonton, lalu bergegas keluar dari rumah.

“Kak, tunggu!” Farrel mengekor tak kalah cepat. “Kakak mau ke mana? Kak Adel—”

“Kakak bakal cari Adel. Kamu tunggu aja di rumah. Hubungi Kakak kalo dia emang udah pulang.”

Selanjutnya Farrel hanya bisa mengantar kepergian Ferris. Masuk ke dalam mobil lalu melaju dengan cepatnya setelah berhasil keluar pekarangan rumah.

Farrel sendiri sebenarnya tidak yakin bahwa kakak perempuannya itu sedang dalam perjalanan pulang. Seharusnya tadi pagi Farrel menanyakan kapan kakaknya itu akan pulang. Tapi di sisi lain Farrel merasa sangsi jika kakaknya akan melanggar peraturan rumah hanya karena sedang berkencan dengan pacar barunya itu.

“Kak Adel sebenernya pergi ke mana, sih?”

...

Sudah cukup jauh Ferris melajukan mobilnya dari area perumahan. Ia menepikan mobilnya dengan sembarang lalu menyambar ponselnya yang tergeletak di sebelah. Mata teduhnya berubah, seolah benda komunikasi di tangannya itu adalah sumber dari munculnya kilatan dingin di iris kecoklatannya. Garis rahangnya mengeras kala menunggu panggilan teleponnya hingga tangan lainnya mencengkeram kuat roda kemudi.

Di tempat lain, Andra baru saja menyelesaikan kegiatan membersih diri kala ponselnya di dekat bantal berdering panjang. Nomor kontak kakak dari Adel tertera di sana yang membuat Andra meragu untuk menjawabnya. Batinnya mulai dirundung tanda tanya.

Kakak dari Adel tidak mungkin menghubunginya jika bukan karena suatu hal yang menyangkut soal Adelina.

“Halo?”

“Mana adek gue?”

Jawaban datar namun sarat tuntutan itu mencenungkan Andra. Ada yang tidak beres, kenapa Ferris menanyakan keberadaan Adel padanya di saat dia tahu gadis itu sudah pulang?

Gue tau lo pergi sama dia hari ini, jadi jangan seenaknya lo nahan adek gue di saat udah waktunya dia ada di rumah. Mana dia?”

Andra menelan saliva kesusahan. Dia sudah membaca situasi. Adel tidak ada di rumah. Tapi bagaimana bisa?

“Gue udah antar dia pulang tadi.”

“Jangan main-main, berandalan!!” Ferris meninggikan suara. “Mana Adel?! Balikin dia sekarang!!”

“Gue bahkan udah bawa dia balik sore tadi,” suara Andra tercekat. Tangannya yang bebas mengepal. “Nggak mungkin dia belum ada di rumah.”

“Pada kenyataannya dia nggak ada di rumah dan ini udah petang! Lo sembunyiin di mana adek gue, brengsek?!” Ferris sudah hilang kendali. Matanya menyala marah. Dia sampai memukul roda setir karena tak kunjung mendapat jawaban. “Jawab gue!! Di mana Adel?!”

Two People - Nerd and InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang