[26] Come Back

8.5K 795 55
                                    

LANGKAH kakinya yang begitu pelan membawa dirinya semakin masuk ke dalam taman duka. Gundukan-gundukan bernisan seolah menyambut kedatangannya dalam hening, dilewatinya begitu saja, menuju satu pusara yang masih amat dihapalnya walaupun sudah terlalu lama ia tak pernah kemari.

Andra berjongkok tepat setelah meletakkan karangan bunga di depan pusara yang mengukir sebuah nama indah. Mengusapnya perlahan, merasakan pahatan nan rapi itu sedikit kotor hingga begitu saja jemarinya menyapu bersih.

“Maafin Bian karena baru bisa datang. Bian lagi-lagi ngecewain Bunda, ya, karena lama nggak pernah ke sini.”

Andra mengamati, mengeja tiap silabel yang mengukir nama yang sudah terlalu lama tidak ia lantunkan sekalipun hanya di dalam kepala.

Abelia Jolanda

“Bian baru sadar kalau nama panggilan Bunda kedengaran mirip kayak dia. Abel dan Adel. Dan itu sama-sama indah. Seperti penyandangnya.” Andra menyungging senyum lemah. “Harusnya Bian kenalin dia ke Bunda, tapi Bian malah habis nyakitin dia, sama kayak Bian nyakitin Bunda dulu.”

Mata tajamnya yang sudah meredup mulai berkaca-kaca. Bibirnya yang terbuka tampak bergetar kala ingin melanjutkan.

“Bian memang nggak pernah berubah. Sampai Bunda pergi ninggalin kita pun, Bian nggak pernah bisa bersikap seperti yang Bunda mau. Hidup Bian semakin berantakan, nggak punya arah, bahkan sampai membahayakan orang lain termasuk dia yang seharusnya Bian jaga. Apa ini karma buat Bian dari Bunda?

“Selama Bunda masih hidup, Bian lebih banyak berdurhaka ketimbang sebaliknya. Berbuat onar cuma demi melampiaskan rasa sakit. Menganggap diri sendiri sebagai orang yang tersakiti dari semua masalah yang menimpa keluarga kita, padahal masih ada Bunda yang lebih sakit menanggung hancurnya pernikahan Bunda dan Ayah. Sampai Bunda memilih pergi pun, Bian dengan kurang ajarnya menganggap semua itu salah orang yang nggak sepatutnya dibenci.

“Bian bahkan dengan tega nganggap dia pendosa dan penghancur keluarga kita, bahkan nyaris ngebunuh dia cuma karena Bian nggak terima sama takdir yang udah terjadi. Padahal di sini, Bian lah pendosa yang sebenarnya.”

Andra sudah menangis. Bulir-bulir bening yang mengalir dari pelupuk mata sudah membentuk sungai kecil di kedua pipinya. Suaranya yang terbata makin tersendat selama melakukan pengakuan di hadapan peristirahatan terakhir bundanya.

“Maafin Bian, Bunda ... Bian selalu kecewain Bunda ... Bian bahkan lebih rendah dari siapapun ... Bian nggak pantas jadi anak Bunda ... Bian berdosa....”

Seperti air yang tumpah ruah, penyesalan Andra mencuat hingga menyesakkan dada. Meruntuhkan segala pertahanan yang selama ini ia bangun sedemikian rupa, retak dengan cepatnya, lalu hancur begitu saja. Melebur dalam tangisan deras tak terkontrol.

Satu tangannya yang terkepal menghalau mulutnya yang terus melontarkan isakan pilu. Mencoba membungkam namun percuma. Membiarkan kesedihan, kesakitan dan rasa bersalah yang bercampur itu mengalir jatuh.

Sedangkan di kejauhan sana, Bhima sudah tak kuasa untuk sekadar menghirup udara yang terasa kelam. Melihat adiknya tertunduk dengan bahu bergetar hebat, bahkan sayup-sayup sedu sedannya sampai ke telinga dan menyayat hati Bhima, membuat mata pria itu ikut berkaca-kaca dengan tangan mengepal.

Sebagai sosok yang selama ini menjadi tulang punggung juga penopang hidup adiknya, Bhima tentu saja terpukul sekali lagi melihat Abiandra kembali hancur di hadapan pusara sang bunda.

Apa yang harus dia lakukan untuk menarik adiknya keluar dari kehancuran yang sudah kesekian kali ini?

...

Two People - Nerd and InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang