[23] Let Go

7K 705 54
                                    

PADA akhirnya, Ferris kembali ke rumah dengan harapan bahwa Adel sudah berada di dalam dan menyambut kepulangannya. Tidak peduli jika dia akan disuguhi muka polos khas adiknya, karena yang paling penting Ferris bisa bernapas lega.

Tetapi dia baru saja sampai di teras rumahnya ketika pintu utama menjeblak terbuka, menampakkan wujud Farrel yang sudah kalang kabut sambil mengenakan jaket juga menggenggam ponsel di salah satu tangan.

Menjadi pertanda jauh dari kata baik.

“Kak Ferris! Kak Adel—“

Melihat bagaimana paniknya Farrel, Ferris langsung mencekal bahu adik bungsunya. “Kenapa? Adel kenapa?”

“Kak Adel...” Farrel terisak dengan mata memerahnya semakin basah. “Kak Adel ada di rumah sakit, Kak ... barusan ... Kak Dhika nelpon ke Farrel karena Kakak susah dihubungin...” Farrel menangis kala melanjutkan, “Kak Adel sekarat...”

Ferris lupa caranya bernapas. Wajah rupawannya pias seketika. Mendengar Adel sekarat merupakan pengandaian terakhirnya, bukan sebuah kenyataan. Karena Ferris tahu benar arti dari sekarat yang menimpa adik perempuannya itu seperti apa.

Si bungsu yang sesenggukan segera menghapus air matanya dan menyadarkan sang kakak. “Kita harus ke sana sekarang, Kak. Kita harus liat Kak Adel!”

Seolah nyawanya kembali, Ferris mengangguk cepat sambil membuka kunci otomatis mobilnya. “Kunci rumahnya, kita ke rumah sakit sekarang!”

****

Langkah berbagai pasang kaki menggema di sepanjang lorong rumah sakit. Dua pemuda yang sama babak belurnya berlari bersama tiga petugas Unit Gawat Darurat mengiringi tandu beroda, membawa gadis yang masih tak sadarkan diri kini dibantu oleh pompaan kantung manual pada masker sungkup yang membungkus hidungnya.

Andra adalah orang yang terus menggenggam tangan sedingin es milik Adelina. Matanya nyaris tak beralih sama sekali dari wajah pucat pasi Adel. Gadis itu terus menutup tirai matanya seolah tengah menghukum Andra. Membuat Andra tak bisa lagi merasakan udara sekitar seolah-olah Adelina lah pusat oksigennya.

“Maaf, kalian hanya bisa mengantar sampai sini,” salah satu perawat menginterupsi, menyisakan para petugas untuk membawa masuk Adel ke ruang Instalasi Gawat Darurat tanpa dua pemuda itu.

Abian yang sedari tadi bungkam bisa melihat bagaimana tegangnya Abiandra saat ini. Lelaki itu menjambak rambutnya sendiri diiringi hentakan napas teramat berat yang membuat Abian sendiri ngilu mendengarnya.

Masih diingat dengan jelas di dalam kepala Abian, bagaimana seorang Abiandra ketakutan bukan main melihat Adel tak bernapas dan dia mati-matian mengembalikan denyut jantung gadis itu.

“Tolong bernapas, Adel...”

Abian bisa mendengar suara berat Abiandra bergetar di sela usahanya memberi napas buatan untuk Adel.

“Adel, bangun...”

Dia bersumpah bahwa Abiandra sudah menangis kali ini. Sekujur tubuhnya seolah bisa merasakan bagaimana Abiandra gemetaran penuh ketakutan dan nyaris putus asa.

“BANGUN, ADEL!!”

Dan untuk kali pertama, Abian melihat secara nyata bagaimana keajaiban itu terjadi.

Adelina tersentak kuat dengan mulut terbuka, dada gadis itu kembali kembang-kempis begitu jelasnya. Saking jelasnya, mereka tidak bisa membendung kelegaan luar biasa. Terutama Abiandra.

Lelaki itu bahkan langsung memeluk Adel, melepas ketakutannya di puncak kepala gadis itu dalam bentuk tangisan deras yang hanya pernah Abian lihat kala sang ibunda pergi. Andra tampak beberapa kali mengecup ubun-ubun Adel lalu menenggelamkan wajahnya di sana.

Two People - Nerd and InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang