[24] Moment of Farewell

7.4K 725 43
                                    

FERRIS menatap nanar gadis di hadapannya kini. Setelah dipindahkan ke ruang rawat intensif, Adel yang berada di masa kritisnya terbaring lemah dengan berbagai peralatan yang mengelilingi bangsal tunggalnya, tersambung pada tubuhnya tanpa ada perlawanan.

Hanya bisa meringis pilu melihat adik perempuannya kembali berbicara melalui monitor jantung yang menampilkan gelombang berbunyi pip tunggal secara berkala dan terdengar lemah. Menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi Adelina, bagaikan berada di antara hidup dan mati.

Ferris mendudukkan diri di sebelah bangsal Adel, menyusul Farrel yang sudah mengatup mulut dan berdiri tegang di belakangnya. Pria itu menggenggam tangan kecil Adel yang masih terasa dingin penuh hati-hati.

“Dasar anak nakal. Udah bikin Kakak sama Farrel khawatir berjam-jam, kamu ternyata enak-enakan tidur di sini.” Ferris tersenyum getir untuk sang adik. “Kamu udah ketahuan, Adel. Sekarang ayo bangun. Kita pulang ke rumah, yuk?”

Ferris menghela napas berat, merasa candaannya tidak berhasil untuk menghibur dirinya sendiri.

“Kakak nggak bakal marahin kamu, jadi kamu harus bangun, Adel...”

Farrel sudah menangis di belakang Ferris. Menyaksikan bagaimana kakak sulungnya begitu terpukul hingga bahu lebarnya bergetar, memeluk tangan Adel dan mengeluarkan sisi terlemahnya di sana.

Padahal, Farrel baru tadi pagi melihat kakak perempuannya yang penuh semangat, bercerita penuh ceria bahwa dia hendak pergi berkencan, tapi  kini Farrel justru melihat sang kakak berakhir tak sadarkan diri di atas bangsal putih seperti ini.

Bagaimana nasib bisa berputar balik begitu cepatnya hanya dalam waktu sehari?

...

Abian meratapi lelaki itu berdiri kaku di depan pintu kamar rawat Adel. Sejak Adel dipindahkan ke sana, Andra tetap enggan mendapat perawatan sementara Abian bahkan sudah berganti kostum pasien rumah sakit ini.

Sebut saja bahwa Abian kini lebih mengkhawatirkan kondisi Andra. Di saat ayah mereka sudah mondar-mandir mengurus administrasi juga kamar rawat inap untuk mereka berdua, Andra terus melarikan diri dan berakhir menjadi lelaki pengecut yang hanya berani berdiri di sana.

Abian tidak bisa membiarkan ini. Itulah mengapa, dia memberanikan diri menghampiri Andra. Meski tidak disangka bahwa lelaki itu akan lebih dulu mundur dari tempatnya menghukum diri lalu berbalik dan segera menemukan keberadaannya.

Banyak hal yang ingin Abian lontarkan pada Andra, tetapi melihat betapa redupnya mata tajam itu tertuju padanya, Abian nyaris tidak mengenali bahwa wajah babak belur itu adalah milik seorang Abiandra. Tidak ada lagi sorot bengis penuh kebencian juga permusuhan di sana. Hanya sosok Abiandra yang tampak menyerah oleh hidup dan melengkah gontai melewatinya begitu saja.

“Bi.”

Bahkan Abian tidak yakin bahwa memanggil dengan sebutan yang selalu berhasil menyulut emosi terdalam seorang Abiandra akan mempan. Justru Abian menemukan lelaki itu sebatas berhenti tanpa menoleh, dengan bahu merosot oleh beban tak kasat mata.

“Ayah sama Kak Bhima khawatirin lo. Lo harus temuin mereka, dokter juga udah nungguin buat ngobatin lo.”

Tidak ada respon berarti. Andra kembali menyeret kaki-kakinya tanpa sepatah kata apapun.

“Bi.”

Abian kembali membuat Andra berhenti. Dia mengikuti dan kembali membiarkan jarak lima langkah memisahkan mereka.

“Harusnya gue yang bertanggung jawab akan semua ini. Gue biang keroknya, gue yang nyulik Adel, gue yang harusnya dihukum. Bukan elo, Bi.” Abian mengepalkan tangan di sisi-sisi tubuhnya. “Tapi kenapa lo nanggung semuanya dan ngebiarin mereka jatuhin lo kayak gini? Lo bahkan nyingkirin gue dan nggak ngebiarin gue ngebela lo.”

Two People - Nerd and InnocentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang