"Dia,"
"Dia kenapa?" tanya Naomi menatap bingung pada Veranda.
Wajah Veranda tampak sedikit pucat, antara percaya dan tidak dengan apa yang ia lihat. Pantas saja saat kejadian berlangsung, ia begitu mengenal suara pemuda itu. Ternyata orang yang sudah mencelakainya adalah adiknya sendiri? Veranda memejamkan bersamaan dengan satu tetes air mata yang mengalir menyelusuri pipinya. Nafasnya tertahan ditenggorokan, seluruh tenaganya terserap habis, dadanya terasa sangat sesak.
Naomi berlutut didepan kursi roda Veranda. Tangannya mengusap lembut air mata Veranda. Ia bisa merasakan kegetiran yang kini tengah Veranda rasakan. Sesaat ia melirik pada Aron yang terlihat bingung lalu kembali menatap Veranda. "Kenapa?"
Veranda mengumpulkan semua kesadarannya kembali lalu membuka mata. Ia memaksakan seutas senyum pada Naomi dan Aron. "Tidak, perutku hanya sedang sakit."
Naomi berdiri kemudian menuntun Veranda untuk duduk di kasur. Veranda langsung memeluk Aron. Menumpahkan semua air matanya dipunggung tegap milik Aron. Naomi mundur dua langkah menyadari ada sesuatu yang tidak beres disini. Lebih tepatnya ada sesuatu yang Veranda sembunyikan, tapi apa?
"Kenapa, kak?" tanya Aron mengusap lembut punggung Veranda
"Tidak, aku hanya merindukanmu," jawab Veranda berbohong. Ia tidak ingin kecurigaannya terbaca oleh Aron.
***
Dua minggu berlalu. Veranda sudah benar-benar pulih sekarang. Semenjak kejadian itu, ia tidak pernah keluar rumah bahkan semua pekerjaannya ia serahkan pada Tiara, wakilnya yang sudah benar-benar ia percaya. Sementara Naomi sendiri semakin memperketat keamanan rumahnya. Takut ada seseorang yang kambali mencelakai Veranda
Selama dua minggu itu pula Veranda berubah menjadi seseorang yang sangat pendiam. Tidak cerewet seperti biasanya. Tentu membuat kekhawatiran Naomi semakin memuncak. Ia memahami ada sesuatu yang berusaha Veranda sembunyikan, tetapi setiap kali Naomi bertanya, Veranda tidak pernah menjawab pertanyaannya dengan jujur.
Naomi mengambil cuti selama tiga hari. Ia mengajak Veranda berlibur, mungkin itu akan mengurangi penat yang Veranda rasakan. Mungkin juga Veranda akan jujur dengan apa yang terjadi padanya jika sudah mendapatkan ketenangan. Maka dari itu satu-satunya tempat yang Naomi kunjungi adalah kampung halamannya sendiri. Di Garut
"Kau akan aku kenalkan pada semua keluarga ku," ucap Naomi tersenyum lebar, "turunlah."
Veranda hanya mengangguk lau turun dari mobil. Udara yang menyejukan langsung menyeruak masuk ke dalam rongga hidungnya. Veranda menarik napas dalam dan dihembuskan perlahan, benar-benar sangat menyejukan. Mendadak sebuah genggaman erat menyapanya dari samping. Ia menoleh lalu tersenyum tipis pada Naomi.
"Ayo." Naomi mulai berjalan menarik lembut tangan Veranda. Pandangannya mengedar ke semua arah. Ah, ia benar-benar sangat merindukan kampung halamannya ini. "Sangat indah, bukan?"
Veranda tersenyum, "Iya, Naomi."
"Nah itu rumahku." Naomi yang sangat antusias langsung manarik tangan Veranda untuk masuk ke dalam rumah.
"Naomi!" jerit Ibunda Naomi buru-buru berdiri dan segera memeluk putri kesayangannya. Sudah hampir enam bulan Ibu tidak bertemu dengan Naomi. "Kemana saja? Ibu merindukanmu."
"Aku juga, Bu." Naomi membalas pelukan Ibu nya tak kalah erat.
Ibu mengangguk kemudian mengusap lembut rambut Naomi. Tak sengaja pandangannya terarah pada gadis cantik yang tengah berdiri diambang pintu. "Itu temanmu?"
"Ah, iya. Aku lupa mengenalkan." Naomi melepaskan pelukannya lalu menarik tangan Veranda agar mendekat pada Ibunya. "Ini Jessica Veranda, sahabat baikku yang sering aku ceritakan di telfon."