"Naomi," lirih Veranda tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
Naomi mengangguk pelan kemudian menggenggam tangan Veranda, "Akan aku ceritakan semuanya tapi tidak disini."
Veranda yang masih syok hanya diam mengikuti langkah Naomi yang entah akan membawanya kemana. Satu sisi ia merasa bahagia tetapi disisi lain beberapa pertanyaan besar muncul dipikirannya; Apa ini kenyataan? Jika iya, apa tujuan Naomi pura-pura meninggal seperti ini? Apa Naomi tidak memikirkan kehancuran yang ia terima karena ditinggalkan olehnya? Veranda mengerjap beberapa kali tidak mengerti dengan apa yang sudah terjadi.
Langkah Naomi berhenti di sebuah rumah sederhana yang berjarak cukup jauh dari pemakaman. Ia mempersilahkan Veranda untuk duduk kemudian duduk disampingnya.
"Ve," Naomi meraih tangan Veranda untuk digenggamnya dengan erat, "sebelumnya maaf karna aku sudah membiarkanmu menderita seperti ini."Veranda menepis tangan Naomi lalu melipat kedua tangannya didepan dada. Pandangannya
lurus kedepan menatap kosong dinding berwarna putih dihadapannya. Sampai detik ini entah kenapa ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Menurutnya apa yang Naomi lakukan benar-benar diluar logika.
"Aku tau siapa pembunuh keluargamu," ucap Naomi membuat Veranda menoleh menatap kearahnya. Naomi mengangguk pelan mempertegas pernyataannya barusan, "Dia juga yang berusaha membunuhku kemarin."
"Maksudmu apa?!" tanya Veranda meninggikan suaranya karena sudah terlalu frustasi dengan masalah ini.
Naomi menggenggam tangan Veranda berusaha untuk menenangkannya tetapi Veranda malah menepisnya dengan kasar, "Aku merindukanmu."
Veranda menggeleng pelan, ia berdiri kemudian melangkah pergi menjauhi Naomi. Namun baru beberapa langkah, ia berhenti ketika merasakan pelukan erat dari belakang. Veranda mengantup mata menahan rasa sesak yang tiba-tiba saja menyelimutinya saat ini. Bukan tidak bahagia mengetahui kenyataan bahwa Naomi masih hidup, tetapi ia merasa dihancurkan secara perlahan oleh semua kebohongan yang Naomi lakukan. Tanpa sadar setetes air mata keluar menyelusuri pipinya dengan perlahan.
"Maaf," Naomi menyandarkan pipinya dipunggung Veranda berharap Veranda akan memaafkannya. Ia memahami sebesar apa kekecewaan yang Veranda rasakan tapi ia juga ingin Veranda memahami ada alasan yang cukup jelas kenapa ia membuat kebohongan sebesar itu.
"Lepas!" Veranda membuka matanya lalu berbalik hingga pelukan Naomi terlepas begitu saja. Tatapannya sudah sangat tajam meski tersamarkan oleh air matanya yang mulai menunjukan tetes berikutnya. Bibirnya bergetar berusaha menahan emosi, tangis, dan amarah yang seolah melebur jadi satu.
"Ve." Untuk ketiga kalinya Naomi berusaha menggenggam tangan Veranda
"Jangan sentuh aku!" bentak Veranda menepis tangan Naomi. Namun Naomi tetap berusaha untuk menggenggam tangannya. Veranda yang sudah diselimuti oleh emosi akhirnya kehilangan kendali hingga tanpa sadar ia menampar Naomi dengan sangat keras.
Naomi mengembuskan napas berat lalu menyeka setitik darah yang keluar dari ujung bibirnya. Tenaga Veranda dalam bela diri memang sudah terlatih sampai tamparan saja sudah bisa membuat bibir Naomi menitikan darah seperti ini.
"Kau lebih jahat daripada penjahat itu sendiri!" Veranda mendorong bahu Naomi sampai tubuhnya terhuyung beberapa langkah kebelakang, "aku hancur, Shinta! Aku hancuuuur!" Veranda mengerang kesal lalu menendang meja yang ada dihadapannya, "kenapa kau tega menghancurkanku seperti ini?!"
"Aku koma, Ve!" Naomi meremas rambutnya frustasi, "bagaimana aku bisa menghubungimu jika untuk bergerak saja aku tidak bisa?"
Veranda terdiam. Nafasnya memburu, sisa dari emosinya yang menggebu-gebu tadi. Ia menatap Naomi yang tengah berusaha menghapus air mata dipipinya sendiri. Tiba-tiba saja hati Veranda terenyuh melihat itu. Ia sadar, air mata yang keluar dari mata Naomi disebabkan olehnya. Bukan itu saja, bahkan semua masalah yang datang menghampiri Naomi itu karenanya.