"don't ask why somebody always hurt you, ask yourself why you let them do that"
--
Wanita cantik itu menggeram kesal, tangannya terkepal kuat seiring dengan amarahnya yang memuncak. Ia menjatuhkan dirinya ke atas kasur berlapiskan sprei bernuansa biru itu.
Ia benar-benar tidak habis pikir dengan nasib yang menimpanya. Bahkan hatinya belum pulih benar dari lukanya, namun entah kenapa sekarang semua pemulihan yang ia lakukan sia-sia sudah. Luka itu terasa makin lebar, dengan sisa-sisa darah yang sekarang terasa makin nyata.
Perasaannya campur aduk, tidak terdefinisikan. Hujan malam itu menjadi saksi seberapa besar cinta yang dulu pernah Erina limpahkan kepada lelaki yang teramat ia cintai. Setelah semuanya hancur, Erina benar-benar rapuh.
Seakan kurang, ayahnya yang sudah mulai tua itu dikeluarkan dari pekerjaannya karena tuduhan korupsi. Ayahnya harus dipenjara selama beberapa tahun atas kesalahan yang bahkan tidak ia perbuat. Erina tahu betul tidak seharusnya ayahnya dipenjara, namun uang seakan menyelesaikan semuanya. Suap menyuap bukan lagi hal yang jarang ditemui di negara ini.
Tak terasa, air mata Erina menetes mengingat masa kelam itu. Hatinya bahkan terasa lebih berdenyut sakit untuk mengenang masa kelamnya. Karena ayhnya dipenjara, Lily--kakak Erina harus berhenti kuliah demi pendidikan Erina yang kala itu juga sedang kuliah. Uang tabungan ayahnya tidak cukup banyak untuk membiayai kuliah dua orang, mengingat sudah sangat banyak uang yang terkuras untuk peradilan. Sangat susah untuk mendapatkan pekerjaan bagi seseorang yang tidak lulus kuliah seperti kakaknya. Oleh karena itulah Erina harus banting tulang demi kehidupan keluarganya.
Ia bekerja sebagai model pakaian terkenal dengan gaji yang pertama-tama benar-benar kecil. Mereka bertiga harus melalui semua itu dengan berhemat, makan seadanya tanpa sesosok ayah menemani.
Seiring berjalannya waktu, gaji Erina bertambah besar. Bosnya menyukai karakter Erina yang ulet, tidak hanya bergantung pada nasib dan rasa kasihan orang-orang sekitar setelah apa yang ia timpa.
Keluarganya sempat hancur kala itu, pertengkaran terus mencuat ke permukaan. Tanpa seorang ayah, mereka menjadi kacau. Kebangkrutan mereka membuat mereka tinggal di rumah kecil pas-pasan.
Beruntung Erina tetap bisa lanjut kuliah hingga lulus, seiring berjalannya waktu Erina semakin sibuk. Tanpa ia sadari juga ia sudah tidak lagi berpikir mengenai lelaki yang dulu ia cintai, namun karena peristiwa yang pernah menimpanya itu pula ia menjadi menutup diri dari lelaki yang mencoba mendekatinya.
Perlahan-lahan, semuanya kembali membaik. Ayahnya sudah dibebaskan dari penjara, walaupun masih belum bisa mendapat pekerjaan karena berita korupsi yang menyebar luas. Erina menjadi tulang punggung keluarga semenjak itu. Ibunya yang memiliki badan lemah hingga tak bisa melakukan dua hal berat seperti bekerja dan melakukan tugas ibu rumah tangga sekaligus, tidak ia biarkan merasa bersalah.
Erina mengusap air matanya yang sudah mengucur deras. Masa kelam yang ia alami itu menjadi satu dengan kehancuran hatinya. Ia mengurus semua sendiri, tidak membiarkan keluarganya ikut masuk terlalu dalam akan kisah hidupnya yang rumit.
"Sayang, papamu mendapat pekerjaan lagi." Tidak bisa ia pungkiri, ucapan yang keluar dari mulut ibunya itu membuat hatinya girang. Belakangan ini ayahnya memang benar-benar seperti orang gila ketika tidak mendapat pekerjaan.
"Really? That's great!" Ucapnya sumringah, hatinya riang tidak terpungkiri. Mungkin karena terlalu senang itulah ia melupakan tatapan ayah dan ibundanya yang sendu.
"Not at all. Ayah dapat bekerja bila kamu mau menikahi anak tunggal dari pemilik perusahaan itu. Jabatan yang ayah dapat tidak main-main di sana. Itu akan memulihkan ekonomi kita" Kali ini giliran Lily yang berbicara, membuat mulut Erina terkatup rapat. Sesaat Erina diam mematung, otaknya seperti masih mencerna apa yang dikatakan oleh kakak perempuannya yang berambut pirang itu.
Sedetik kemudian wajah Erina yang gembira berganti menjadi sendu, seakan menahan amarah yang sudah meletup-letup. "Me? Hell no!" Ucapnya menggebu.
"Jaga bicaramu Erina, kamu juga sudah terlalu lama menutup hatimu" Ucap sang ayah menenangkan, namun itu tidak berpengaruh untuk Erina yang perasaannya sedang kacau sekarang. Ia benar-benar tidak ingin terlibat dalam hal yang berbau romansa untuk sementara waktu.
"Nggak mau pa. Erin benar-benar nggak mau jatuh cinta lagi. Erin udah muak sama hal yang berbau romansa"
"Erin sayang, dia lelaki baik-baik. Seharusnya kamu belajar mendengarkan terlebih dahulu sebelum asal mengambil tindakan." Ibunya ikut bersuara, membuat Erina menaikan slah satu alisnya. Apa yang ibunya katakan terasa janggal dengan topik yang sedang dibawa sekarang.
"Nggak ada hubungannya dengan aku yang selalu mengambil tindakan sebelum berpikir mom. Tapi siapa pria yang ibu agung-agungkan itu? Apa ibu mengenalnya dengan baik?"
Ia bisa melihat ayahnya yang meletakan selembar foto usang, foto yang memuat gambar seorang lelaki muda dan gadis yang tertawa lepas. Foto itu membawa pikiran Erina berkelana ke masa lalu, maasa di mana semuanya masih mudah dan tiada cela.
Dengan pelan Erina mendecit, "Dia mantanku ma, pa. Kalau aku pernah berpacaran dengannya kemudian putus, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres darinya. Kenapa kalian menerima tawaran dari ayah James? I don't get it mom, dad." Air matanya sekarang menetes, tidak bisa ia pungkiri ia rindu dengan masa-masa yang ia lalui bersama pemuda dalam foto itu.
Erina mengambil foto itu dan mengusapnya, senyumnya masih tersisa untuk mengingat semua itu. Tetapi kemudian senyum itu luntur, ia tidak lagi menyukai James. Hanya saja hujan yang turun malam ini memaksanya untuk berpikiran melankolis. Ia mengusap air matanya secara kasar, ia bukan lagi gadis kecil yang cengeng. Meskipun hatinya mudah tersentuh, ia sangat jarang menunjukan sisi lemahnya terhadap orang lain, meskipun mereka keluarganya sendiri.
"Erin, papa juga tidak mau awalnya. Tapi penjelasan dari James sendiri sudah cukup untuk menjadi alasan kalian bersatu kembali."
"Seperti yang mama bilang, seharusnya kamu tidak ceroboh dan asal mengambil tindakan Erin. Kamu bahkan tidak mengetahui kebenarannya."
Ibunya hanya tersenyum manis tanpa bersuara, karena apa yang ada dipikirannya sudah disuarakan oleh pria yang ia cintai dan anak pertamanya.
"Then tell me." Ucap Erina tanpa ragu, hatinya sudah kembali teguh tanpa derai air mata seperti sebelumnya.
Ibunya hanya menggeleng kalem, "Erin, bicarakan baik-baik dengan James. Kami tidak akan ikut campur lebih jauh." Suara keibuan itu membuat Erina geram, ia bahkan tidak ingin bertatap muka dengan James.
"Papa juga tidak pernah melihat senyum itu lagi setelah kalian putus." Ucap ayahnya memotong Erina yang baru saja hendak berbicara.
"Kami tidak perlu pendapatmu Erin. Besok lusa kita akan bertemu sebagai acara lamaran. Mau atau tidak, kamu harus menerimanya" Ibunya berucap tegas tak terbantahkan, membuat Erina cemberut.
Ia memejamkan mata sekali lagi, ia tidak munafik. Baginya, berdamai dengan masa lalu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Ia sudah tidak lagi memiliki perasaan untuk pria yang dulu teramat ia cintai itu. Semua sudah hangus bersama waktu, yang tersisa hanyalah rasa benci yang kian mendalam.
Namun sepertinya ia lupa, kalau segala sesuatu yang hangus akan tetap menyisakan sesuatu. Seperti abu, mungkin?
Mata Erina sayup-sayup terpejam, tenaganya seakan terkuras habis untuk acara pemotretannya hari ini dengan pembicaraan berat dengan keluarganya hingga derai tangis yang ia ciptakan seakan membuatnya sudah tidak lagi memiliki alasan untuk melakukan suatu kegiatan.
Air hujan yang masih turun membasahi bumi menjadi lagu pengantar tidurnya, dengan lampu yang remang-remang menjadi pendongengnya.
Ia hanya berharap, agar setidaknya rasa lelah yang membebaninya secara psikologis itu tidak terus bergelanyutan di pundaknya.
TBC
Jangan lupa mainin lagunya ya biar mengena :) -mchrent
KAMU SEDANG MEMBACA
Married My Ex
RomanceMENIKAH DENGAN MANTAN?! "Percayalah, menikah denganmu tidak berada pada urutan terakhir dalam daftar keinginanku. Karena menikah denganmu, sama sekali tidak berada pada daftar keinginanku" -Erina Alfeeriana Bagaimana bila kamu dinikahkan dengan sese...