Chapter 1 (Who am i?)

26.9K 1.4K 18
                                    

Udara malam terasa begitu dingin, menusuk hingga menembus kerasnya tulang. Hembusan angin yang bertiup lembut membuka kembali memori-memori using masa kecilnya. Masa dimana ia bebas bermain dan tertawa ceria tanpa beban dan kesedihan. Memang miris jika kenyataan terlalu dalam disimpan hingga tak dapat muncul ke permukaan, memperlihatkan bagaimana kenyataan menggores luka sekaligus bahagia di hati dan jiwa. Ini bukan masa lalu yang teramat pahit, tapi tentang masa lalu yang begitu manis namun memilih pergi dan menghilang tak berjejak. Bukan inginnya memang, tapi garis takdir Tuhan yang tak dapat ditebak pada akhirnya akan membawanya pada suatu kenyataan yang akan menyakiti suatu hari nanti.

La Tahzan, janganlah bersedih. Percayalah Allah lebih tahu mana yang terbaik bagimu. Itu yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri.

"Bu, Tami punya saudara nggak sih?" Tami memandang wajah teduh wanita yang duduk di sampingnya dan seperti dugannya, raut wajah tenang itu berubah seketika. Seharusnya ia tidak mengajukan pertanyaan konyol itu.

Tami menghembuskan nafas lamat-lamat lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Seperti biasa, malam ini Tami dan ibunya duduk di teras rumah sambil menatap langit yang berhiaskan indahnya bulan dan ribuan bintang yang bersinar amat cerah. Ciptan-Nya yang begitu anggun nan mempesona adalah satu dari sekian banyak fasilitas duniawi yang melengkapi keindahan dunia yang fana ini, namun begitu seringkali tak menyadari semua itu dan melupakannya.

Tak segera mendapat jawaban, Tami mencoba menoleh, mata bulatnya yang berwarna hitam pekat mencoba menelisik kembali perubahan ekspresi wajah wanita berusia kepala lima yang biasa ia panggil ibu. Kentara sekali si ibu sangat terkejut mendengar pertanyaan anak semata wayangnya, namun cepat-cepat ia merubah mimik wajah, takut keterkejutannya terbaca oleh si anak.

"Kamu ngomong apa sih, nak?" ucap si ibu. Ekspresi terkejut di wajahnya ia buat semeyakinkan mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan dan pertanyaan baru yang akan membongkar sebuah rahasia yang telah tersimpan rapat selama bertahun-tahun. "Kamu kan tahu, ya hanya kamu satu-satunya anak Ibu. Anak yang penyanyang dan paling berbakti di dunia." sambungnya. Tangan tuanya terulur untuk mengusap kepala Tami yang tertutup khimar dengan lembut dan penuh kasih.

Di rumah yang cukup besar ini, mereka hanya tinggal berdua. Ibu dan si gadis bermata bulat, Tami Nurul Sabrina.

Kepala Tami menoleh, bola matanya perlahan mengecil tertutup kelopak mata seiring dengan senyuman manis yang coba ia hadirkan di wajah. Ia tahu pertanyaannya sedikit banyak menyinggung hati dan perasaan ibunya tapi rasa ingin tahu akan masa lalunya seringkali membuatnya penasaran dan rasa penasaran itu semakin membuncah saat ia tanpa sengaja bertemu gadis yang sangat mirip dengannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bahkan kata Clara, sahabat dekatnya, mereka berdua bak pinang dibelah dua.

"Maaf ya, bu. Tami nanyanya aneh-aneh." ujar Tami merasa bersalah.

"Iya, nggak apa-apa, sayang. Ibu sangat mengerti rasa penasaran kamu. Tapi apa yang penting sekarang adalah menjalani kehidupan saat ini. Masa lalu ada untuk dijadikan pelajaran untuk menjalani hari esok, bukan untuk dikenang."

Ibunya selalu sebijak ini dalam menasihati, membuat rasa penasaran yang sekejap tadi singgah di benaknya seketika lenyap. Memang benar apa yang dikatakan orang, bahwa nasihat seorang ibu bagaikan air yang menyirami hati anak-anaknya, membawa kesejukan dan ketenangan batin. Tami memeluk lengan ibunya dan menyandarkan kepalanya disana. Sesekali seperti ini, mengenang masa kecil di pekatnya malam terasa menghangatkan relung jiwa yang butuh kedamaian.

"Masuk yuk, udah malem nih, besok kan kamu jadwalnya shift malem. Mana hawanya dingin lagi."

"Ibu duluan saja deh. Pemandangan langit lagi bagus, sayang kalau dianggurin."

Sang Mempelai Pengganti (Perfectly Halal Series 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang