Chapter 7 (Gadis ceroboh vs dokter galak bin jutek)

12.1K 885 9
                                    

Alvin yang masih mengenakan baju OK (operation kamer) berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan gontai. Semangat dan tenaganya sudah terkuras habis karena operasi bypass yang berlangsung hampir selama enam jam. Alvin mengurut tengkuknya yang terasa kaku. Urat-uratnya terasa tegang semua. Jangan bayangkan menjadi tenaga kesehatan itu menyenangkan. Dimulai dengan pendidikannya yang memakan waktu lama lalu bekerja di bawah tekanan yang tak mengenal waktu, benar-benar melelahkan. Bisa dikatakan bahwa tenaga medis itu adalah robot hidup yang sesungguhnya. Karena itulah ia sampai harus mengurungkan niat untuk menikahi kekasihnya beberapa tahun yang lalu. Kedua orang tuanya bahkan mengancam tak akan membiayai pendidikannya jika ia memilih menikah. Bukannya tidak boleh menikah saat masih pendidikan, bahkan beberapa temannya memilih menikah ketika masih menjalani co-ass. Orang tuanya hanya tak ingin pendidikannya terganggu karena sibuk mengurus rumah tangganya. Tapi kini hal yang paling membuatnya bahagia adalah ketika melihat senyum bahagia dari pasien dan keluarganya saat mereka dapat kembali ke rumah yang penuh kehangatan. Alvin merasa bangga dan bahagia karena dirinya menjadi salah satu penyebab kebahagiaan mereka. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebentar lagi cita-citanya yang sempat ia kesampingkan akan terealisasi. Sungguh, kebahagiaannya jadi berlipat ganda. Kadang memang kita harus melepaskan sesuatu untuk menggapai hal yang lebih besar.

Kaki Alvin hampir saja tersandung andai ia tak cepat memperlebar langkahnya untuk melewati kaki seorang perawat yang melintang di lorong. Alvin menatap perawat itu dengan geram. Kedua alisnya berkerut. Bukankah itu adik Karina? Gadis yang ditemuinya beberapa hari yang lalu dalam keadaan serupa. Gadis itulah yang beberapa hari yang lalu ditemukannya tidur terlentang di atas sofa di ruang keluarga, sementara layar televisi masih dalam keadaan menyala. Dan sekarang gadis itu dengan nyenyak tidur terduduk di bangku lorong rumah sakit. Gadis ini memang pantas diberi gelar pelor. Dimana saja dia berada pasti kedua matanya akan mengatup. Gadis itu jugalah yang sempat ia marahi karena keteledorannya di ruang operasi.

Alvin mengamati Tami dengan seksama. Benar-benar mirip seperti pinang dibelah dua. Pikirnya. Tapi Karina itu anggun, tidak seperti adiknya yang ceroboh. Ia kembali berusaha mengingat apa benar bahwa gadis itu adalah salah satu orang yang pernah ada di masa kecilnya, namun hasilnya nihil. Seberapa keras pun ia berusaha, ia tetap tak bisa mengingat apapun tentang masa kecilnya. Kecelakaan benar-benar telah merenggut semua memori yang tersimpan rapi di sel otaknya.

Tiba-tiba badan Tami melorot ke bawah hingga ia terjatuh ke lantai. Kelopak matanya yang sedari tadi mengatup dengan malas akhirnya terbuka juga saat merasakan sakit di sana-sini. Ia tadi mimpi terjatuh dari tempat tidur dan ternyata ia benar-benar terjatuh atau lebih tepatnya melorot dan wajahnya tepat berada di atas sebuah sepatu. Tunggu dulu ... tidak, sepertinya ini bukan mimpi. Tami melebarkan kelopak matanya dan benar saja ini bukan mimpi, tapi kenyataan. Wajahnya benar-benar berada di atas sepatu dan bukan sekedar sepatu, tapi sepatu itu dipakai seseorang yang tengah menatapnya tanpa berkedip. Tami memberanikan diri untuk mendongak menatap wajah si pemakai. Ia mengkerutkan wajah dan memalingkan pandangannya ke lantai saat mengetahui siapa pengguna sepatu itu. Ia merutuki dirinya sendiri karena sifat pelornya. Lihatlah betapa memalukan keadaan dirinya sekarang. Tami berusaha menebalkan muka. Sakit di tubuhnya tidak seberapa di banding rasa malunya. Ia kemudian berdiri dengan terpaksa karena Alvin seperti tak berniat membantunya untuk berdiri. Alvin menahan tawanya yang sudah berada di ujung tenggorokan.

"Selamat pagi, dok." sapa Tami dengan senyum terpaksa karena menahan malu.

"Pagi juga, Tami. Nyenyak banget ya tidur kamu." Nada bicara Alvin sarat akan sindiran. Sudut bibirnya terangakat sebelah.

Tami hanya menyeringai. Rasa malunya jadi berlipat ganda mendengar sindiran Alvin. Rasanya ingin saja membenturkan kepalanya ke dinding.

Sang Mempelai Pengganti (Perfectly Halal Series 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang