Aku menatap pintu yang menghalangi pandanganku akan kepergian Rani. Kubalik tubuhku menatapnya. Menatap Radit. Hatiku sesak melihat ia terbaring lemah tanpa kekuatan sedikitpun. Aku menegarkan hatiku, memantapkan langkahku. Langkah demi langkah aku mendekatinya. Aku telah sampai disisinya, berbagai macam selang menempel ditubuhnya. Isakan kecil lolos dari bibirku.
"Hai, Dit. Aku datang," aku berujar parau. Ku tarik kursi yang tadi diduduki Rani mendekat, dan kini aku mendudukinya. Kutatap wajah itu, wajah yang dulu menghiasi hariku dengan senyum. Hatiku begetar, sakit rasanya melihat ia dalam kondisi seperti ini. Satu persatu air mata turun membasahi pipiku, menetes melalui daguku, membasahi celana yang kukenakan.
Aku memberanikan diri menggapai tangannya. Ku genggam erat tangan itu, dan kutempelkan di pipiku.
"Dit, kenapa? Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sakit?" Diam. Dia tak menjawab pertanyaanku.
"Kamu tau,Dit. Aku khawatir, aku takut banget kamu kenapa-kenapa." Ia masih diam membisu.
"Bangun Dit. Buka matamu, udah berapa lama kamu tidur disini? Lihatlah, rasakanlah, bukankah kasur disini tak seempuk kasur dirumahmu? Lalu mengapa kamu betah tidur disini?"
Isakan kecilku telah berubah menjadi hujan air mata. Ia masih diam. Ia tak pernah seperti ini sebelumnya, ia tak pernah membiarkan setetes pun air mata turun membasahi pipiku. Tapi kini? Bahkan saat tangisku telah pecah, ia tak memperdulikannya. Ia tetap diam membisu."Dit, kamu denger aku kan? Kamu paling sebel kalo aku suka pura-pura nggak denger, aku juga sebel kalo kamu gitu." Aku menarik nafas perlahan, dan menghembuskannya dengan berat.
"Kamu tau nggak Dit, aku kangen banget sama kamu. Kangen denger ketawa kamu, kangen denger kamu nyanyi, kangen diusilin kamu juga. Aku kangen semua tingkah konyol kamu." Air mata ini sudah tak dapat dibendung, ia mengalir deras bagaikan air terjun.
"Kamu tau nggak, kenapa aku nggak pernah marah, nggak pernah kesel, nggak pernah jengkel atas semua perilakumu? Itu karena rasa sayang aku lebih besar dari semua itu Dit. Kamu masih nggak mau bangun? Aku udah nangis gini kamu masih nggak mau bangun? Kamu masih mau tidur? Nggak ada niat buat ngehapus air mata aku, Dit?" Hening, hanya keheningan yang menjawab semua keluhan ku.
"Radit bangun! Kamu jahat banget tau nggak! Aku benci kamu Dit! Radit bangun! Aku mohon Dit, aku mohon" aku menjatuhkan kepalaku di tubuhnya, menyembunyikan tangisku diantara lekukan lenganku.Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menepuk bahuku perlahan. Aku mengangkat kepalaku dan menatap orang yang menepuk bahuku. Ade, kakakku. Dia berada tepat dibelakangku, dibentangkannya tangan kekarnya, dan aku segera berdiri masuk kepelukannya.
"Sayang, doain Adit ya, dek. Kamu jangan nangis, nanti Adit ikut sedih," dibelainya rambutku perlahan.
"Radit, kak. Kenapa dia nggak ngomong kalo dia sakit? Kenapa dia sembunyiin dari aku kak?" Aku masuk semakin dalam ke pelukan kakakku.
"Isna, kita nggak tau kapan kita akan sakit. Kamu nggak bisa nyalahin Adit gini, sayang."
"Kenapa dia belum bangun, kak? Aku nakal ya sampe dia nggak mau ketemu aku? Dia benci aku ya, kak?"
"Sayang, Adit capek, kamu tau sendiri kan kerjaan dia apa? Biarin dia istirahat dulu,"
"Tapi aku kangen dia, kak. Gapapa dia ngusilin aku lagi, aku rela kak. Tapi dia harus bangun,"
"Kita pulang ya, sayang. Kamu istirahat, Adit juga butuh istirahat. Besok kita jenguk dia lagi."
"Nggak mau, aku mau disini nungguin Adit"
Kakakku melepaskan pelukannya. Dipegangnya kedua pundakku, dan ditatapnya kedua manik mataku. "Isna. Kakak mohon. Adit nggak akan suka liat kamu gini. Mata bengkak, rambut acak-acakan, bedak udah luntur, udah nggak cantik lagi"
"Tapi kak.."
"Kakak mohon, sekali ini aja. Kita pulang ya, besok kita datang lagi. Kakak janji."
"Baiklah. Aku pamit dulu kak." Aku membalik tubuhku, menatap Radit yang masih sama seperti semula. Terbaring lemah, diam membisu. Aku melangkahkan kakiku mendekatinya, kuraih tangannya dan ku genggam erat. Aku menghela nafas perlahan.
"Dit, aku pulang dulu. Besok aku kesini lagi ya. Tapi, aku mau besok kamu bangun. Oke? Aku bakal ngambek beneran kalo kamu nggak mau bangun. Beneran nih". Ku lepas genggamanku lalu memberanikan diri mengecup keningnya lembut. "Sampai jumpa besok, Dit".
Aku segera berjalan meninggalkan Radit, menghampiri kakakku yang tengah menungguku. Aku berhenti di hadapannya, mendongakkan kepalaku, menatapnya sesaat. Ia hanya tersenyum lalu mengangguk. Di tuntunnya tanganku, menggiringku meninggalkan tempat ini.
***
Hiyaa, hello hello 😂. Jan pada ngambek ya guys, ini part udah lama banget di draft. Baru di post sekarang hehehe.
Maafkanlah guys, 😂😂
Berhubung aku libur panjang, InsyaAllah aku bakal rajin posting. Okeh.
Loveyou guys
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Komandan
AléatoireKita tidak pernah tahu, kapan cinta akan datang, dan kapan dia akan pergi. Kita pun tak dapat mencegah kedatangan dan kepergiannya. Namun kita dapat melakukan yang terbaik untuknya saat dia masih bersama kita