8. Perubahan

67 13 6
                                    

Sally menghempaskan tubuhnya di sofa. Perjalanan tadi cukup membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa seorang Nina mengendarai motor layaknya seorang pembalap Moto GP.

"Tadi itu benar-benar mendebarkan. Aku merasa baru saja melewati ambang kematianku," kata Sally sambil mengelus dadanya.

Nina tertawa kecil. "Ambang kematian? Kau berlebihan. Sekarang kau bisa mempercayaiku, kan?"

"Aku mempercayai kau bisa mengendarainya, tapi aku tidak percaya aku bisa selamat saat kau mengendarainya," jawab Sally, "apa dulunya kau sebenarnya seorang pembalap?"

Tawa Nina langsung pecah saat mendengar pertanyaan Sally. "Pembalap? Omong kosong. Memangnya harus seorang pembalap yang bisa mengendarai seperti itu?"

"Menurutku begitu."

Nina kemudian mengatur napasnya kembali. "Sudahlah kita lupakan soal pembalap. Kita sekarang harus memikirkan bagaimana cara meyamarkan identitas mu."

"Identitasku? Kenapa harus di samarkan? Bukankah itu lebih baik saat orang-orang mengetahui ini aku? Lalu setelah itu aku akan kembali ke rumah dan akan memberitahu dunia apa yang sebenarnya terjadi."

"Lalu menurutmu apa papamu akan membiarkanmu melakukan itu?" tanya Nina yang sektika membuat Sally kebingungan.

"Apa maksudmu?"

Nina memegang bahu Sally. "Sally, dengarkan aku. Jika kau bisa bertahan di sini lebih lama tanpa siapapun mengetahui identitas mu, maka semua yang terjadi ini akan segera berakhir. Namun sebaliknya jika kau hanya bertahan sebentar, maka sesuatu yang lebih buruk akan terjadi," jelas Nina sambil memegangi kedua bahu Sally

Sally mengerutkan keningnya. "Sesuatu yang lebih buruk seperti apa?"

Nina terdiam sebentar, lalu berkata, "Ntahlah. Intinya seperti itu."

Sally benar-benar tidak mengerti  apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya saat ini. Meskipun Nina telah menjelaskannya rasanya otaknya belum dapat mencerna dengan benar apa maksud dari semua ini.

Apa ini sebuah hukuman? Tapi kenapa aku dihukum? Apa aku melakukan kesalahan? Apa kesalahanku? Bukankah seharusnya pria itu yang dihukum? Dia melakukan kesalahan lebih banyak dari padaku, batin Sally yang bertanya jawab dengan dirinya sendiri.

"Sally?" panggil Nina yang membuyarkan lamunan Sally.

Nina menatap Sally. "Kau baik-baik saja, Sally?"

"Hmm."

Sally hanya mengangguk lemah. Meskipun iya mengatakan baik-baik saja, percayalah Nina tetap tahu bahwa Sally tidak benar-benar baik-baik saja saat ini. Pertanyaan Nina itu hanya untuk basa basi baginya.

"Kau sebaiknya istirahat. Ayo aku antarkan kau ke kamarmu," tutur Nina sambil menuntun Sally ke kamarnya.

Sally benar-benar merasa tubuhnya begitu lemas. Di balik senyum manis Sally selama ini, dia juga menyimpan dengan rapat sisi rapuh yang tidak diperlihatkannya pada siapapun.

"Siapa yang tau? Jika Sally yang manis bak putri itu begitu lemah dan rapuh. Sally, harus aku akui kau sebenarnya adalah orang yang benar-benar hebat berpura-pura." gumam Nina sambil menutup pintu kamar Sally.

Sally menatap keluar jendela kamarnya. Ia menatap sendu ke arah langit biru yang nyaris tidak berawan.

"Mama, aku rindu. Aku rindu semuanya. Rindu kebersamaan kita. Aku merindukan kenangan itu, Ma, Rindu. Kenapa rasanya begitu menyesakkan di sini, Ma?" Sally bergumam sambil menatap kosong ke langit dan memegangi dadanya yang terasa begitu sesak.

Pandangannya masih kosong. Ia membiarkan hembusan angin menerpa wajahnya, membiarkan angin membelai tiap helai rambutnya.

"Langit. Apa Mama mendengarku? Bisakah kutitip salam rindu untuknya?"

Tanpa Sally sadari pelupuk matanya telah tergenang oleh air mata, perlahan butiran bening itu mengalir di pipi lembutnya.

-0o0-

Malam ini langit benar-benar tidak membiarkan setitik cahaya pun menghiasinya. Bahkan rembulan seolah berusaha mencari celah agar tetap dapat memancarkan cahayanya ke bumi yang gelap gulita.

"Sepertinya malam ini akan turun hujan," gumam Sally sambil menatap langit.

Baru saja ia akan membaringkan tubuhnya dia atas kasur, perutnya langsung mendendangkan senandung keroncongan.

"Nina!"

Nina datang dengan cepat menghampiri Sally.

"Ada apa?"

"Apa di dapur masih ada makanan?"

"Makanan? Sepertinya ada. Ayo ikut aku!" ajak Nina.

Sally langsung mengekori langkah Nina menuju dapur.

Sesampainya di dapur Nina langsung memeriksa lemari penyimpanan makanan.

"Sepertinya tidak ada makanan yang bisa kita makan langsung saat ini."

Sally hanya mengembungkan pipinya karena kecewa. "Perutku yang malang. Bersabarlah sampai pagi, oke?" kata Sally sambil melihat ke perutnya seolah dia tengah berdialog dengan perutnya.

"Kau tidak akan gila karena lapar kan?"

"Tentu saja tidak!" bantah Sally cepat.

"Sebenarnya aku bisa membuatkan suatu makanan untuk mu. Tapi aku tidak yakin kau akan mau memakannya."

Sally menatap bingung. "Apa itu?"

Nina kemudian mengeluarkan dua bungkus mie dari lemari makanan.

"Tadaa!!" sorak Nina semangat.

Sally mengambil langkah mundur sambil mengelengkan kepalanya. "Mie? Tidak! Aku tidak akan memakannya. Aku tidak ingin tubuhku membengkak. Lebih baik aku menahan lapar."

"Sudah kuduga kau tidak akan memakannya."

Sally akhirnya berjalan kembali ke kamarnya dengan langkah lemas.

Baru saja Sally akan menutup pintu kamarnya ...

"Bangunlah lebih awal, aku akan mengajakmu ke suatu tempat," kata Nina.

Sally mengerutkan keningnya yang membuat kedua alisnya nyaris bertemu.

"Kemana?"

"Suatu tempat."

"Baiklah, aku tidur dulu. Selamat malam."

Nina mengangguk sambil tersenyum. "Hmm. Selamat malam juga, Sally."

Sally mengangguk mengiyakan dengan lemas. Ia benar-benar kekurangan semangat karena menahan lapar.

-0o0-

Keesokan hari Sally benar-benar bangun lebih awal. Ntah karena perutnya lapar atau karena permintaan Nina semalam yang menyuruhnya bangun lebih awal.

Tanpa diminta sekalipun Sally langsung menghabiskan sarapan yang baru saja di hidangkan oleh Nina.

"Kau jadi hobi makan belakangan ini," celetuk Nina membuat Sally menatap tajam ke arahnya.

"Ini bukan hobi, ini cara agar bertahan hidup," balas Sally lantas melanjutkan makannya.

Nina tertawa pelan. "Sally... Sally."

Mereka pun akhirnya menyelasaikan sarapan mereka dan mengerjakan tugas masing-masing.

"Kau bilang kita akan pergi, memangnya kita mau kemana?" tanya Sally setelah selesai menyapu.

"Bersiap saja."

"Kita tidak naik motor lagi kan?" tanya Sally memastikan.

"Sepertinya aku tidak perlu menjawab untuk pertanyaan yang satu itu."

Sally hanya bisa menghela napasnya pasrah.

....


Not Famous?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang