Bagian 11

10.1K 865 12
                                    

Sekedar pemeberitahuan yang * terus huruf italic atau miring iti berati flashback ya 😊

Happy reading!!

Zaina tercenung menatap langit yang sudah beranjak senja, semburat kuning bercampur merah terpampang nyata di cakrawala, dirinya kian merapatkan selimut yang tersampir di bahunya. Cuaca di Persia memang sangat unik jika siang hari Matahari akan sangat menyengat mengecup tiap jengkal tubuh sedang jika senja hawa di Persia akan terasa sangat dingin. Maklum memang, karna sebagain besar Persia terdiri dari gurun-gurun pasir luas.

Ingatan nya tak segaja bermuara pada kejadian pagi hingga siang tadi, dimana Altan suaminya mengamuk tak tertahan bagai orang kerasukan. Dirinya tak tahu apa yang menyebabkan suaminya murka sperti tadi bahkan dengan garangnya Altan memakinya dihadapan pelayan-pelayan istana. Hatinya sakit tentu saja tapi dirinya mencoba untuk tak ambil pusing, toh dirinya sudah mensugestikan diri untuk tak terlalu berharap pada Altan

Helaan nafas lelah keluar dari bibir mungilnya, dirinya ingin pulang ke Iran bertemu ayahnya yang kabarnya sedang sakit. Tapi entahlah Zaina ragu untuk meminta izin pada Altan yang sedang dalam keadaan suasana buruk.

Ketukan dipintu kamarnya menarik dirinya dari lamunan tak berujungnya, Thabit si Panglima tampak berdiri dengan gagah di pintu masuk. Kemudian dirinya menyilahkan untuk masuk

“Ada apa?” tanya nya langsung

Panglima Thabit terseyum kemudian menghapiri Zaina yang masih berdiam di atas peraduannya. Tangannya terulur untuk menyerahkan sebuah kain dengan berbagai alat sulam yang tersimpan di kotak kayu berukir bunga-bunga mawar

“Kain dan alat sulam?” Zaina mengernyit heran pada Thabit yang masih berdiri kaku di samping peraduannya

Thabit mengangguk cangung kemudian segera menyerahkan kota kayu beserta kain tersebut. “Yang Mulia Raja meminta hamba menyerahkan ini pada anda” jawabnya akhirnya

Zaina mengernyit bingung, Altan? Benarkah? Batin nya berfikir ragu. Kemudian tangannya terulur mengambil kotak kayu dan kain yang diserahkan oleh Thabit dan menaruhnya di atas nakas

Thabit kemudian membungkuk hormat dan berlalu keluar meninggalkan Zaina yang masih ragu. Sepeninggal Thabit dirinya terus menatap kotak kayu dan kain yang katanya diberikan Altan untuknya, entahlah dirinya ingin mempercayayi itu tapi enath kenapa hatinya seolah berucap tidak.

.........................

Ayse masih menatap hamparan sungai Suez yang terbentang luas dihadapannya, hartinya berkecamuk. Dirinya masih mengingat dengan jelas percakapannya dengan Panglima Jallen beberapa hari yang lalu, percakapan yang membuatnya tertampar keras akan kenyataan hidupnya.

*
Dirinya terus berjalan mengikuti pria gagah di depannya yang masih berjalan dengan tenang. Sedangkan dirinya, perasaannya berkecamuk tak menentu jantung berdegup kencang tentu saja ia serasa mendapat lotre besar karna bertemu dengan Panglima Jallen, ayahnya. Rasa haru menyelimut dirinya saat mereka tiba dikediaman Panglima Jallen, lengannya saling bertautan menahan euforia kebahagiaan yang memuncak di hatinya

Ayse duduk saat Panglima Jallen menyilahkannya untuk duduk, kemudain menawari minum tapi dirinya menolak karna tak sabar ingin segera memulai pembicaraan dengan Panglima Jallen. Ayse terseyum canggung saat panglima Jallen terseyum padanya, mereka sempat diam beberapa saat saling menatap dan belum ada yang berniat memulai pembicaraan

“Ayse?”

Kemudian dirinya mendongak menatap tepat kearah netra Panglima Jallen yang juga menatapnya. perasaan gugup tiba-tiba melingkupi hatinya, ia tak tahu harus memulai nya dengan berbicara apa? Apa langsung ke topik pentingnya?

DETERMINATION [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang