Ciputat

18 0 0
                                    

Mungkin tidak semua orang akan mengetahui ini, cerita yang sudah lama Agung pendam dalam hati sejak awal perkuliahan. Sejak duduk di bangku kuliah semua orang tahu mungkin dirinya salah satu mahasiswa yang terlalu sering diam, jarang berbicara dan kurang bergaul dengan yang lainnya. Namun, di dalam kediamannya, ia menemukan satu sisi yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Itupun Agung tidak mengenal apa sebutannya dalam kehidupan ini, rasa yang membuat hatinya tenang, rasa yang sedikit memacu kecepatan jangtung untuk berdegup, rasa malu jika menatap matanya, rasa yang tidak bisa percaya diri ketika berbicara di hadapannya. Sudah lama ia merasakan ini, namun sulit untuk dipahami.

Sejak melihat Bintang di dalam kelas, sedikit merusak pikiran. Bintang selalu menyelinap kemanapun Agung pergi. Setelah berhasil mengontrol emosi hatinya lalu ia beranikan diri untuk berkenalan dengannya. "Namaku Agung."

Bintang hanya bergeming sambil merasa heran, mungkin di dalam hatinya ia berkata "siapa lelaki ini, beraninya memperkenalkan dirinya kepada ku?". 

Beberapa saat kemudian akhirnya Bintang pun menjawab salam perkenalan tersebut "aku Bintang."

Senangnya hati Agung, ternyata Bintang mau menjawab perkenalan tersebut, dan sekarang dirinyalah yang tidak mampu menggerakkan lidah untuk lanjut berbicara, hanya mampu diam dan senang. Tidak terbayangkan rasanya, sungguh awal yang cukup lumayan bagus untuk melanjutkan perkenalan ini. Dan saking tidak sadarnya, tanpa menyadarinya Bintang sudah pergi berlalu. "Ahh tak apalah dia sudah pergi, yang penting sudah mau berkenalan dengan diriku ucapnya dalam hati."

Esok hari ada kuliah pagi, dan malamnya pun sudah Agung persiapkan untuk beristirahat di kosan setelah hari ini terlewati tanpa kesibukan berarti, paling hanya berbicara dengan teman kostan yang dikenal sejak masa PROPESA (program pengenalan terhadap mahasiswa baru). Dia Aris, anak rantau dari Palembang dan di Jakarta untuk pertama kalinya datang. Dia kuliah di Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuludin. Kami bercengkrama seputar masa SMA dan kehidupan keluarga di daerah asal masing-masing.

*

Setelah sadar hari sudah mulai terang, Agung bersiap untuk menjalankan perkuliahan hari ini. Jam 7 pas Agung langsung berangkat ke kampus. Jarak dari kosannya ke kampus memang agak jauh, kira-kira bisa menghabiskan waktu lima belas menit. Sengaja ia pilih kosan yang lumayan jauh jaraknya dengan kampus, karena ingin merasakan suasana yang cukup tenang.

Berharap di awal hari ini ia bertemu dengan Bintang di baseman fakultas agar dapat berbicara lebih banyak. Bintang yang selalu menemani malamnya dalam lamunan, berharap sekali diri ini untuk berkenalan lebih jauh dengan dirimu, hadirlah Bintang di pagi ini. Ini merupakan minggu kedua baginya memulai dunia baru di bangku perkuliahan, dan pagi ini ingin sekali menikmati sesosok wajah yang sangat memberi pencerahan di dalam hidupmya. Tak sabar rasanya apabila menunggu waktu perjumpaan itu di dalam kelas, karena hanya sedikit waktu untuk memiliki kesempatan berbicara bersamanya.

Ohhh, rasanya berat sekali menahan keinginan menatap wajahnya yang cerah di pagi ini, tak sabar untuk menunggu waktu itu. Waktu sudah menunjukkan jam setengah delapan kurang lima belas menit, semakin mepet dengan masuk perkuliahan. Agung manatap sekitar kantin, ternyata sudah dipenuhi oleh mahasiswa-mahasiswa lain untuk beristirahat dan bahkan ada pula yang sarapan terlebih dahulu sebelum masuk ke kelas.

Suasana kampus sudah mulai ramai, ada yang jalan tergesa-gesa karena mungkin sudah di tunggu oleh tugas kuliah, mungkin juga sudah di tunggu oleh kekasihnya, bahkan yang lebih tragisnya mereka merasakan seperti yang kurasakan pada pagi ini, ingin segera menemui pujaan hatinya. Apapun alasannya, yang pasti pagi ini ingin sekali rasanya menatap wajahnya dan berbicara dengannya sebelum masuk perkuliahan.

"Assalamualaikum, mau ngapain di kantin pagi-pagi?" sapa seorang kawan, Rifai. Nama lengkapnya adalah Ahmad Rifai, perantauan dari Jawa Tengah. Lulusan sebuah pesantren di daerah asalnya. Logat berbicaranya pun masih sangat kental dengan ciri khas Jawanya. Dia anak seorang petani yang memiliki tekat besar dalam merubah kehidupan keluarganya dan juga dirinya kelak di masa depan nanti. Anak pertama dari 3 orang bersaudara, satu-satunya anak laki-laki dan semua adiknya adalah perempuan. Adik pertamanya sekarang sekolah kelas dua Madrasah Tsanawiyah setara SMP di sebuah pondok pesantren di kampungnya, dan adik keduanya baru memasuki sekolah, yakni kelas satu ibtidaiyah di dekat rumahnya.

Adapun biaya dia kuliah di sini karena mendapatkan beasiswa dari pondok pesantren asalnya. Sedangkan untuk kehidupan sehari-harinya dia mengharapkan kiriman dari orang tuanya yang tidak menentu kedatangannya. Bagi seorang anak petani yang menjadi tukang di lahan orang lain tentu hasilnya tidak memungkinkan untuk dirinya menikmati kemewahan kota Jakarta. Namun kekurangan materi baginya bukan awal dari kegagalan dalam merubah kehidupan keluarganya.

"Waalaikum salam, ahh biasalah mau menikmati pagi lebih lama di kampus" jawab Agung. "Sudah sarapan belum?"

"Aku puasa Gung, biasa untuk menutup kehidupan dikemudian hari katanya."

Dan Agung mengerti apabila dia berpuasa, biasanya uangnya sudah mencapai titik akhir.

Mereka saling kenal sejak PROPESA (Program Pengenalan Mahasiswa dan Almamater) di kampus. Jadi aku sudah tidak ragu lagi kalau saat ini dia sedang tidak memiliki uang lebih untuk beberapa hari ke depan.

Dan di saat mereka sedang asik mengobrol, di dalam hati selalu kepikiran untuk menanti Bintang datang lebih awal. Sambil ngobrol gak karuan akhirnya jam pun menunjukkan pukul setengah delapan. Kami pun bergegas untuk menuju ruang perkuliahan. "Rif di lantai berapa kita kuliah kali ini?".

"Lantai lima ruang 15, emang kamu tidak mencatat jadwal perkuliahan?".

"Tidak".

Agung pun memutuskan untuk menaiki tangga saja, di karenakan pada waktu seperti itu semua mahasiswa baru sampai, dan lift pun penuh sesak.

Ruang kelas pun ternyata sudah dipenuhi oleh sebagian anggota kelas lainnya, Agung lihat sekitar kelas, dan ternyata Bintang sudah duduk manis sambil mengobrol dengan Nurul teman sejak SD nya, dan mereka pun kini kembali duduk bersama pada satu lembaga pendidikan. Melihat wajahnya sesekali, penuh pesona, lalu ku tundukkan kepala takut menimbulkan sesuatu yang buruk dalam pikiranku ini.

Hari ini Bintang kuliah memakai kemeja hijau dan rok berwarna hitam. Sopan gaya pakaiannya, mampu memberikan nilai plus. Tidak bertahan lama menatapnya, lalu dosen kami pun masuk ke dalam kelas. Di pagi ini kami belajar Bahasa Arab yang tidak pernah Agung pelajari sekalipun sewaktu sekolah dahulu.

Selama satu semester ini memang Agung lebih banyak terdiam di dalam kelas dalam menerima pelajaran, dikarenakan hampir seluruhnya merupakan pelajaran ilmu agama, hanya satu mata kuliah saja yang tidak berbau agama yakni civic education atau dalam bahasa sekolahnya adalah Pendidikan Kewarganegaraan. Selain memperhatikan Bintang di dalam kelas, tidak ada lagi yang dapat dilakukannya. Terpana dan menderita karena tak sanggup lagi untuk mengungkapkan kesukaan kepadanya, dan karena tak sanggup lagi menerima mata kuliah yang sebelumnya tidak pernah dipelajari di bangku sekolah.

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang