Harapan di Ujung Senja

35 1 0
                                    

Bintang memutuskan untuk menginap di rumah Agung. Mengingat ia esok masih akan libur. Kesempatan ini tak akan ia sia-siakan agar mereka berdua dapat bersama. Namun, ia harus menunggu sampai siang hari, karena Agung mendadak harus mengurus beberapa pekerjaan di kantor kelurahan. Setelah sarapan dan ikut membantu ibu nya Agung membersihkan rumah dan memasak ia diperintahkan Agung agar beristirahat. Agung tampak begitu menyanyanginya begitupun dengan kedua orang tuanya. Wajah lelah belumlah hilang dari Bintang. Ia pulang malam setelah liputan lalu paginya ia langsung berangkat menuju Sukabumi. Dan hal ini mampu dilihat oleh Agung. Kelelahan dalam dirinya sedikit nampak walaupun wajah manisnya mampu menutupinya.

Makan siang yang sederhana telah disiapkan dengan manis oleh Ibu nya Agung. Sayur asam, ikan asin, sambel goreng dan juga tempe goreng telah tersedia sesaat Bintang terbangun. Bintang merasa malu karena tidak mampu ikut membantu dalam mempersiapkan hidangan makan siang tersebut. Pukul 12 kurang, sedangkan di luar sana telah terdengar ku mandang adzan. Bintang kaget, ia terasa akrab sekali dengan suara tersebut. Mungkinkah Agung? Tanya dalam benaknya.

"Kita shalat dzuhur dahulu ya nak Bintang. Sambil menunggu Agung pulang dari Masjid." Ucap Ibunya Agung.

"Agung sudah pulang bu, lalu yang tadi adzan itu suaranya Agungkah?"

"Iya, itu memang suara dia. Ia selalu menyempatkan pulang lebih dahulu dari kelurahan agar sempat mengumandangkan adzan di masjid nak."

"Suaranya bagus bu, beruntung Ibu memiliki anak seperti Agung."

Ibunya hanya tersenyum mendengar pujian dari Bintang tersebut. Lalu mereka mengambil air wudhu bergantian. Melaksanakan shalat di kamar masing-masing. Sedangkan adiknya Agung ikut ke masjid bersama kakaknya. Di masijid Agung seperti biasa menjadi imam bagi anak-anak yang sedang semangat-semangatnya mengemban ilmu agama dan shalat berjamaah atas didikan yang diberikan oleh Agung disetiap sorenya. Mereka selalu antusias untuk mengikuti apa yang diajarkan oleh Agung. Seperti prinsipnya setelah lulus kuliah. Ia ingin mempersiapkan generasi selanjutnya di kampung halaman agar memiliki akhlak yang bagus seperti yang telah diperjuangkan oleh Imam Khomeini di Iran.

Setelah shalat Agung mengumumkan kepada anak-anak bahwa sore ini ia tidak bisa memberikan pelajaran kepada anak-anak. Ia menyampaikan bahwa dirinya sedang ada tamu penting dari Jakarta. Wajah anak-anak tampak sedikit kecewa. Namun, tak begitu dalam. Mereka menyadari bahwa selama ini gurunya tersebut telah meluangkan begitu banyak waktunya kepada mereka dalam membina mereka menjadi anak-anak yang memiliki karakter Islam dan juga karakter kebangsaan yang berBhineka Tunggal Ika. Hal ini dapat terlihat dari cara Agung merangkul anak-anak yang berbeda agama untuk mengikuti kegiatan belajar yang ia adakan setiap habis ashar pada hari selasa, kamis, dan sabtu di pelataran masjid. Ia mengajak anak-anak agar melihat dan menghargai perbedaan sedari dini. Walaupun mereka minoritas kita tidak boleh melakukan diskriminasi dan intimidasi terhadap mereka. Dan mereka tetap mendapatkan pendidikan yang layak walaupun seorang yang berbeda agama yang mengajarkannya.

Awalnya memang banyak yang menolak terobosan Agung untuk mengajak kaum beda agama ikut belajar di pelataran masjid. Namun Agung mampu menyakinkan mereka yang menolaknya. Agung dengan gigih memperjuangkan persamaan hak kepada anak-anak yang berbeda agama dan menjadi minoritas agar tetap bisa hidup yang layak di kampung halamannya.

Setelah sesampainya di rumah, ia telah di tunggu oleh Bintang dan juga Ibunya. Hidangan makan siang telah tersedia. Bintang tersenyum melihat Agung telah pulang. Sedangkan Ririn, adiknya Agung langsung berhambur memeluk Bintang dengan rindu. "Kakak sudah bangun? Kakak lebih cantik dibandingkan dengan apa yang diceritakan oleh A Agung tentang kakak."

"A Agung memang cerita apa saja kepada kamu tentang kakak?" Tiba-tiba saja Bintang langsung menanyakan itu kepada Ririn.

Agung hanya asik mendengar obrolan para wanita di ruangan tersebut. Mukanya sedikit memerah, seperti apa yang dilihat Bintang pada waktu kuliah dahulu saat ia mengajak ngobrol Agung di Perpustakaan. Sedangkan ibunya hanya menyimak saja sambil menyiapkan peralatan makan yang belum ada.

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang