Setelah ayahnya memilih untuk beristirahat dan tidur, malam itu Agung lebih memilih untuk melanjutkan pertualangannya dengan buku-buku. Ci Gombong terasa hangat malam itu. Ayahnya mendukung pilihan hidupnya untuk terus menancapkan kaki di tanah kelahirannya agar nantinya mampu tumbuh banya manusia-manusia berkualitas di sana. Sakit yang dideritanya, lantas tak membuat ayahnya menuntut Agung untuk segera mencari uang agar dapat membantu biaya berobat, namun sakitnya tersebut akan terobati bila Agung terus di sana, mengabdi pada tanah kelahirannya. Hidup adalah sebuah pilihan, maka tekunilah hidupmu, karena di sana banyak pembelajaran.
Malam selalu menari dalam diri Agung. Ia selalu menari membawa kepada sebuah peraduan. Sebuah kenangan terkadang muncul di sana. Terlebih sebuah rindu, ia selalu hadir bersama tarian malam.
Tak pernah ia menduga apa yang akan terjadi pada dirinya saat ini. Sungguh masa depan dan kematian adalah sebuah misteri, dan hidup adalah sebuah pengabdian pada Tuhan dan lingkungan. Sedari kecil Agung ingin sekali menjadi pemain sepak bola. Beranjak dewasa ia ingin menjadi seorang arsitek. Awal masa kuliah ia ingin menjadi seorang wartawan. Akhir kuliah ia ingin menjadi seorang politisi. Namun pada akhirnya ia kini adalah seorang pemuda yang kembali dari segala pertualangan hidup ke tanah leluhurnya.
Agung teringat tentang kampus tercintanya. Sebuah kampus yang dalam jargonnya mengakui dirinya sebagai kampus pembaharuan menurutnya ialah sebuah mimpi yang jauh dari kenyataan. Pikirannya malam ini jauh ke dalam lubang kerinduan akan suasana kampus yang begitu megah dalam pembangunan yang lebih mengedepankan penampakan ketimbang sebuah kedalaman ilmu. Awalnya ia begitu wah melihat kampus tersebut. Bangunannya kokoh, banyak kendaraan-kenadaraan pribadi berjejer di dalamnya, banyak di kelilingi oleh fasilitas-fasilitas modern di sana.
Namun beriring dengan waktu Agung tersadar, ia sedang berada dalam kampus yang sangat mengedepankan penampakan ketimbang kedalaman ilmu. Gedung-gedung bertingkat saling mengisi ruang kampus tersebut. Begitu tampak kokoh. Namun begitu rapuh di dalamnya. Mahasiswa-mahasiswa di bangun seperti remaja di perkotaan. Lebih mengedepankan penampilan. Kebanggaan yang tercipta oleh para mahasiswa hanya sekedar lantaran mereka kuliah di kampus yang begitu mewah dan sangat wah bukan lagi dari begitu banyaknya sarana-sarana kajian yang ada di sana. Mahasiswa di cipta untuk menjadi pekerja bukan lagi menjadi pengkaji atau bahkan menjadi pengabdi untuk menerangi masyarakat. Inilah kampus yang Agung kenal dan penuh ia sesali. Kampus, yang mahasiswanya menganggap sebuah pergerakan mahasiswa sebagai omong kosong. Duka.
Beruntung dalam perjalanannya menempuh ilmu di univertsitas tersebut Agung mengenal orang-orang hebat. Salah satunya adalah Aris, seorang mahasiswa yang berasal dari Palembang. Garis pemikirannya begitu kritis. Turun aksi dari jalan ke jalan. Mengisi hari-harinya dengan kajian-kajian politik dan politik Islam. Aktif dalam organisasi ekstra kampus. Ia terkenal dengan kesederhanaannya dalam berpenampilan dan ke kritisannya dalam berpikir.
Pikirannya melayang jauh ke masa lalu. Setelah berbincang dengan ayahnya, malam itu Agung malah berpikir bebas dan membawanya kembali pada dunia kampus. Segala kenangan dan keprihatinannya tentang masa lalu. Tentu bukan untuk di kenang, masa lalu adalah untuk menciptakan teori atau pelajaran baru untuk masa depan.
Pada masa kuliah, Agung memiliki teman satu kostan bernama Aris. Aris berasal dari Palembang, anak tertua dari 5 bersaudara, dan seorang lulusan pesantren. Pemikirannya cukup cerdas dalam melihat keadaan sekitar dan pemerintahan. berkali-kali turun aksi di jalan menyuarakan penolakan-penolakan dari kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat. Selain itu ia juga sangat giat melakukan kajian-kajian untuk para mahasiswa di kampus, dan menjadi momok yang sangat kritis dalam menyikapi peraturan kampus yang memberatkan mahasiswa.
"Setiap masa ada orangnya, dan setiap orang memiliki masanya, siapa yang diam maka dialah yang akan tertinggal jaman, dan hanya orang-orang kritis dan beranilah yang akan terkenang" ucapnya di setiap kumpul dengan adik-adik mahasiswa dan kawan-kawan lainnya. Semangatnya selalu menggelora, aktivis muda yang sungguh siap membuat sejarah pikir Agung kala itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jarak
RomanceKisah ini menceritakan dua insan yang terpisah. Sang pemuda kembali ke kampung halamannya setalah tamat kuliah. Sedangkan perempuan pujaannya berada di ibu kota bekerja sebagai jurnalis.