Akhir Hujan

7 3 0
                                    

Senja menjelang. Mentari telah perlahan meninggalkan bumi. Para ibu dan bapak yang bertaruh hidup di luar sana untuk mencari sesuap nasi telah kembali ke rumah. Para buruh garmen satu persatu ke luar dari cengkraman kapitalis. Mereka dipaksa berkeja penuh, namun mendapat upah yang begitu minim. Anak-anak keluar rumah, untuk sekedar bermain bersama anak yang lainnya. Desa menjadi hidup sejenak. Di tambah lagi mobil truk pengangkut pasir dan para tukang ojek yang saling berebut jalan mengantar sang tuan sampai di rumah dengan selamat.

Bintang dan Agung telah rapih, mereka berdua berencana untuk keluar sore ini. Adiknya masih asik tertidur pulas sore itu. Uminya Agung sedang merapikan rumah. Mereka berdua lalu pergi berlalu beriringin dengan para buruh pabrik yang baru saja pulang. Dan berlawanan dengan para tukang pabrik batu bata yang baru saja pulang setelah mengambil pasir di daerah Batu Tulis Bogor.

Lido menjadi tujuan mereka berdua. Selain dekat dengan desa tempat Agung tinggal, tempat ini juga memang layak dikunjungi untuk sejenak merehatkan pikiran yang telah lelah bekerja seperti yang Bintang rasakan selama ini.

Danau buatan dengan air yang cukup jernih. Rumput yang mengelilingi sekitar danau membuat pemandangan sedikit bertambah indah. Pohon pinus yang berbaris rapih menambah pesona sederhana nan indah sore itu. Mereka menyewa sampan kecil untuk mengitari danau di sore hari. Indah. Sinar mentari sedikit menghangatkan tubuh mereka. Memancing ikan menjadi perhatian mereka berdua pada sore tersebut.

Tidak ada obrolan serius dari mereka di sore itu. Mereka hanya bergandengan tangan. Saling menggenggam seakan tak boleh terpisah. Hanya ada beberapa orang yang mengunjungi Lido pada saat tersebut. Mereka hanya akan menjadi saksi betapa Bintang dan Agung tak ingin berpisah lagi dalam Jarak yang begitu jauh.

Alunan dari Payungteduh yang berjudul Menuju Senja tambah mendalami perjalanan mereka sore itu. Harum jernihnya air. Hembusan angin yang sejuk. Alunan musik yang syahdu melelapkan Bintang dalam pelukan Agung. Sedikit air mata menetes dari mata Bintang. Tak membasahi baju Agung, namun mampu dirasakan oleh hati Agung. Air mata dan denyut hati yang saling mencinta kini menyatu dalam suka.

Sekian lama tak ada obrolan. Mereka membiarkan gejolak alam dan dirinya masing-masing menyatu dalam cinta. Bintang tak lepas-lepasnya mendekap pundak Agung. Nyaman, damai, kasih yang mendalam, seakan ingin mereka rengguk cinta yang sedalam-dalamnya sore itu. Di tengah danau, di tengah alam yang seakan bersenandung lagu cinta.

Tak lagi peduli apa yang akan terjadi. Tak lagi peduli apa sampan itu akan terbalik menenggelamkan mereka berdua. Tak lagi peduli air akan tiba-tiba memuntahkannya. Atau bahkan tak lagi peduli apakah ikan-ikan mau menyantap makan yang mereka berikan. Mereka tak lagi peduli apa yang akan terjadi.  Mereka hanya diam dan hanya jalinan hati yang berkata.

Bintang membuka kesunyian tersebut sambil menanyakan "apakah kamu sejak kecil menghabiskan waktu di kampungmu?"

Agung tersenyum mendengar pertanyaan dari kekasihnya tersebut. Meski seperti sekedar basa-basi, setidaknya pertanyaan tersebut kembali membuka cakrawala tentang masa kecilnya. Iya bertutur kepada Bintang bahwa tidak sepenuhnya masa kecilnya ia habiskan di Tugu Jaya. Ia dahulu sempat menghabiskan masa Sekolah Dasarnya sejak kelas 1 - 3 bersama pamannya di daerah Pondok Gede, Bekasi. Ia sengaja dititipkan di sana karena ayahnya kurang memiliki biaya untuk menyekolahkan anaknya. Ayahnya saat itu tidak mau terlalu merepotkan orang tuanya Pak Lurah dengan meminta bantuan agar membiayai Agung sekolah.

Yang diingat tentang tempat tersebut bagi Agung adalah sebuah tempat yang memiliki keramahannya tersendiri dari para penduduk aslinya. Mereka menerima para pendatang dari daerah selayaknya pamannya Agung untuk mengadu nasib di perantauan dengan tangan terbuka. Sebuah keramahan yang sangat berarti bagi para pendatang. Tidak hanya yang seagama saja mereka menerima pendatang dengan suka rela. Ada juga beberapa diantaranya para pendatang yang memiliki agama berbeda namun mendapatkan hak dan perhatian yang sama dari para penduduka aslinya. Nama desanya Jatimakmu, dan nama kampungnya adalah kampung Bojong Rawalele.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 01, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

JarakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang