Langit Senja dan Bianglala

10 3 0
                                    

Sore menjelang. Garis-garis awan di langit barat memantulkan cahaya matahari, memancarkan warna keemasan bagi pucuk-pucuk pepohonan. Siluetnya yang indah bak lukisan alam yang terbentang. Memberikan suasana tenang. Cahaya itu jatuh sempurna menimpa cat merah mengkilap dari mobil milik Khanza.

Khanza berjalan menuju parkiran saat ia melihat bayangan Farhan dengan tas gendong abu-abunya berjalan menuju gerbang. Ragu-ragu Khanza memutuskan antara mendekati pemuda itu, mengajaknya pulang bersama, atau sendiri saja. Tapi tunggu, Khanza tidak punya alasan untuk mengajaknya pulang bersama. Lagipula Khanza bukan siapa-siapa, bukan teman dekat atau apa pun. Dan harusnya memang seperti itu.

Khanza terlalu banyak membuang waktu untuk berpikir sehingga kehadiran Farhan di dekatnya tidak ia sadari. Ia terlonjak kaget begitu tangan Farhan dengan sengaja menyentil dahinya.

"Aw aw aduh sakit!" Khanza meringis sambil memegangi dahi yang menjadi korban keusilan Farhan. Ia memelototi pemuda yang kini tertawa di hadapannya.

"Mau mengajakku menumpang?" tebaknya tepat sasaran.

Khanza salah tingkah. Bingung harus menjawab apa karena yang dikatakan Farhan memang benar adanya. Ia lekas memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang mungkin muncul. Khanza malu sekali.

"Ah sudah, kalau iya, aku mau kok."

Tanpa permisi dari si pemilik mobil, Farhan masuk begitu saja.

Khanza tercengang di tempatnya berdiri. Seingatnya terakhir kali mereka bertemu sikap Farhan masih sedingin es. "Apa hari ini Jakarta akan hujan?" gumamnya pelan. Tapi itu jadi tidak penting lagi sekarang.

Khanza masuk. Menghidupkan mesin mobil. Menghidupkan radio. Lalu menginjak gas dan memutar setir mobil. Mengeluarkan mereka dari area sekolah menuju jalanan padat Jakarta. Farhan menyamankan punggungnya di sandaran kursi mobil. Memperhatikan dunia luar dari dalam mobil selalu berhasil membuat keadaan hatinya membaik. Ditambah alunan lagu yang menari-nari mengisi kekosongan udara.

"Sebenarnya aku mau memintamu menemaniku berbelanja untuk properti festival nanti." Khanza mengutarakan niat awalnya. Sudah bisa ditebak, pikir Farhan, biasanya perempuan mendekati orang lain itu pasti karena ada maunya. Farhan mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

"Dan maaf karena aku tidak berhasil mengikutsertakan kamu di festival, jadi kamu tidak perlu melukis lagi." Khanza terus berceloteh tanpa memberikan kesempatan Farhan menanggapi. "Oh ya nanti lukisanmu akan aku kembalikan." tutupnya.

"Tidak perlu, kamu boleh memilikinya."

Khanza menoleh senang. "Sungguh?"

"Ya." jawab Farhan malas.

Khanza terpekik keras saking senangnya sampai Farhan harus menutup telinga karenanya. Ia tidak bisa membayangkan lebih lama bersama gadis berisik ini. Selain pemaksa Khanza benar-benar berisik. Atau sebenarnya semua gadis di dunia ini juga sama berisik? Farhan tidak tahu untuk satu hal itu.

"Ugh telingaku!" gerutunya kesal.

Mobil yang membawa mereka memasuki kawasan perbelanjaan. Khanza membawa Farhan menuju parkiran sebuah supermarket.

"Yosha, di sini!"

"Apa tidak terlalu berlebihan, Khanza? Kamu mau membeli properti seperti tente-tante mau memborong diskon mingguan."

Khanza mengangkat sebelah alisnya. Demi apa pun ini adalah kali pertama Khanza mendengar Farhan menyebut namanya. Nyaris ia berpikir Farhan sebenarnya lupa dengan nama Khanza karena tidak pernah sekali pun menyebutkannya. Rupanya tidak seperti itu. Mau tak mau Khanza merasa senang.

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang