Sebuah Pilihan

5 2 0
                                    

Weekend adalah saat yang tepat bagi kebanyakan orang untuk bersantai ria di rumah. Merasakan suasana ketenangan. Melepaskan diri dari kegiatan sekolah atau bekerja untuk mencari nafkah. Khanza duduk bersantai sambil meminum teh hijau di teras belakang rumahnya. Udara pagi ini sangat menyejukkan siapa pun yang menghirupnya. Merilekskan otot-otot tubuh yang nyaris satu minggu ini menegang karena absennya dari sekolah. Pun pikirannya yang akhir-akhir ini dipenuhi masalah. Menyamankan diri dengan mendengar alunan musik dari MP3 Player yang sengaja ia stel dengan volume rendah.

Suara pintu berderit mengganggu kesenangannya, Khanza menoleh menemukan Afrizal berdiri di sana.

"Ada tamu, Kak." tukasnya seraya berbalik kembali, berlalu begitu saja.

Khanza memperbaiki penampilannya. Wajahnya, lumayan segar. Tidak sepucat hari-hari kemarin. Rambutnya tertata cukup baik. Pakaiannya tidak terlalu buruk. Mendekati sempurna. Melangkah menuju ruang tamu. Seorang tengah duduk di sana, seorang pemuda yang sangat familiar di mata Khanza.

Farhan?

Gerakan Khanza terhenti. Jika saja hari ini Farhan datang pada situasi di mana Khanza belum mengetahui segalanya, gadis itu pasti akan menyambutnya dengan sangat baik. Berbeda situasi dengan sekarang ketika Khanza hanya terdiam di tempatnya berdiri. Meski apa yang dirasakan hatinya bertolak belakang dengan yang ia lakukan.

Farhan akhirnya menyadari keberadaan Khanza. Dari matanya gadis itu terlihat lebih kurus padahal baru satu minggu sejak pertemuan terakhir mereka.

"Khanza?" panggilnya pelan seraya berdiri.

Khanza bisa melihat dengan jelas bekas-bekas luka di wajah Farhan. Ia merasakan sakit di hatinya ketika menyadari saat ini dirinya tidak bisa mendekat untuk mengobati luka itu. Khanza menggerakkan mulutnya seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi urung. Ia lebih memilih tetap diam tanpa melakukan apa pun.

Farhan segera menyadari apa yang membuat sikap Khanza menjadi seperti ini.

"Aku datang untuk meminta maaf."

Khanza tak berniat merespon barang sedikit. Tatapannya tajam menghujam Farhan.

Farhan merasa terluka. Bahkan kini sahabatnya sendiri menatapnya dengan tatapan sama seperti yang biasa orang lain berikan padanya.

"Aku tahu aku tidak bisa memutar waktu. Tidak bisa menjaganya adalah kesalahan terbesarku. Mungkin seribu kata maaf tidak akan menggantikan apa yang sudah pergi. Jadi..."

Khanza masih menyimak. Membiarkan Farhan menyelesaikan perkataannya.

"...tidak apa-apa kau menatapku seperti itu. Selama itu bisa menebus kesalahanku." Suara Farhan bergetar.

Farhan membalas tatapan Khanza dengan sorot mata yang tidak terlukiskan. Antara perasaan terluka dan penyesalan. Farhan berlalu setelah itu. Khanza memandangi punggung Farhan yang semakin menjauh. Terus menjauh hingga hilang di balik pintu rumah Khanza.

oOo

Farhan menatap lukisan itu. Gambar seorang gadis yang sedang berdiri di depan mobilnya. Hatinya teriris pedih. Harusnya sejak awal mereka tidak perlu bertemu. Harusnya sejak awal Farhan melanjutkan hidupnya dengan caranya sendiri. Berkelahi menjadi yang terkuat. Bukannya berhenti seperti kemauan sahabatnya. Harusnya sejak awal Farhan tetap bersikap dingin dan tak acuh, bukannya goyah oleh kedekatan Khanza. Maka semuanya akan berjalan sebagaimana mestinya.

"Kenapa kalian datang dan pergi dengan cara seperti ini?" Ia bergumam, seolah sedang berbicara pada dua orang yang baginya berharga, dan kini pergi begitu saja, merekalah Bagas dan Khanza.

Ia melepaskan lukisan itu serta dua lukisan berwarna buatan Khanza dari gantungan lantas membawanya ke dalam rumah. Papa Farhan sudah menunggu dengan koper-koper besar yang akan mereka bawa. Ragu Farhan antara memasukkan lukisan-lukisan itu atau membiarkannya di rumah ini. Meninggalkannya bersama dengan kenangan-kenangan yang ingin ia lupakan.

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang