Hitam, Putih, dan Abu-Abu II

6 2 0
                                    

"Tidak apa-apa. Aku-"

"Tidak akan baik-baik saja," potong Farhan. Khanza termenung. Ia memang sedang tidak baik-baik saja. "Sudahlah. Cepat ikut aku." Kali ini giliran Farhan sedikit melakukan pemaksaan pada Khanza. Ia tahu Khanza itu keras kepala sama seperti dirinya, hanya dengan cara ini Khanza akan menurut. Jika dengan memaksa bisa mencegah si gadis terkena flu, Farhan akan melakukannya.

Akhirnya Khanza menurut. Mengganti dress selututnya dengan kaos dan celana jeans milik Farhan. Ini jauh lebih nyaman dari sebelumnya. Tidak peduli penampilan Khanza yang biasanya modis kini hanya bergaya casual sederhana. Menurut Farhan, pakaian seperti apa pun, selalu cocok jika menempel di tubuh Khanza. Tak lupa Farhan melepaskan jaket yang dipakainya untuk digunakan Khanza agar terbebas dari dingin.

"Bagaimana?" tanya Farhan penasaran.

"Bagaimana apanya?"

"Tempat ini. Nyaman 'kan? Aku yang mendesainnya sewaktu masih kelas enam sekolah dasar."

Khanza hanya ber-oh ria. "Lumayan." katanya santai. Ia mulai mengunyah beberapa biskuit yang disajikan Farhan.

Farhan tahu-tahu sudah menyentil dahi Khanza dengan tangannya. "Paling tidak berikanlah pujian sedikit."

Khanza merengutkan wajahnya. "Sakit tahu!" ringisnya sambil memegangi kening.

"Lagipula mau apa kamu ke sini?"

"Memangnya tidak boleh?"

Farhan tertawa. "Tentu saja. Kalau bisa lebih sering lebih baik."

Kali ini ganti Khanza yang menyentil dahi Farhan keras-keras. "Maunya kamu."

"Jika mau, kamu boleh mengambilnya."

"Hah? Mengambil apa?"

"Lukisanmu."

Kalimat Farhan secara tidak langsung mengakui bahwa lukisan yang tadi sempat membuat Khanza terpaku adalah benar lukisan Khanza dengan mobilnya.

"Tidak, tidak... simpan saja untukmu." Gambar itu bisa menjadi kenangan untuk Farhan. "Agar suatu hari nanti gambar ini bisa kaupajang di galeri lukisanmu." Ia tersenyum.

Farhan itu benar-benar unik dan menarik. Setahu Khanza ia tidak pernah merasa dipotret ketika sedang di dekat mobil atau hal lainnya. Tapi Farhan dengan jiwa seni dan ingatannya yang kuat mampu melukis Khanza hanya dengan bermodal imajinasi. Ia percaya suatu hari nanti, Farhan pasti bisa menjadi pelukis yang terkenal.

"Kamu selalu hebat kalau urusan melukis."

Farhan tersenyum kecut. "Tidak sebaik yang kamu pikirkan."

"Tentu saja kamu pasti bisa jadi pelukis yang hebat. Jika kamu punya keinginan dan tidak menyerah untuk berusaha. Maka tidak ada yang mustahil di dunia ini."

Khanza terus memperhatikan Farhan sejak pertemuannya hari ini. Mencari celah di mana ia bisa mengetahui tentang kenyataan yang baru diketahuinya beberapa waktu lalu. Tapi nihil. Hari ini Farhan banyak tersenyum. Isu tentang Farhan yang mantan berandalan menakutkan seperti hanya isapan jempol belaka. Pasti salah. Batinnya. Lebih untuk menghibur dirinya sendiri.

"Apa ada yang mengganggumu?"

Khanza menoleh. Tersenyum. Farhan pasti menyadari sikap anehnya hari ini.

"Apa sesuatu yang benar jika kita menyalahkan orang lain karena kesalahan masa lalunya?"

Farhan membeku oleh kalimat Khanza barusan. Ia jelas sudah dapat menebak apa yang terjadi.

"Mungkin iya, mungkin tidak." jawabnya ragu. "Apa sekarang kamu menyesal mengenalku?"

Farhan berbicara sambil mendongak menatap hamparan langit yang putih oleh awan. Jejak-jejak hujan masih nampak dari dedaunan yang basah.

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang