Takdirkah?

69 11 4
                                    

PROLOG
Takdirkah?

Desember datang dengan hujan, membuka kenangan yang tiada pernah terlupakan.

Rumah itu masih sama seperti sebelumnya. Sederhana dengan taman kecil yang di dalamnya terdapat rupa-rupa tanaman beraneka jenis. Bunga-bunga mawar bermacam warna bermekaran menguarkan aroma menyejukkan. Perlahan rintik-rintik hujan turun membasuh dedaunan yang berdebu. Tetesannya jatuh menghantam rerumputan, sebagian terbawa angin dan mendarat di permukaan jendela.

Dari dalam ruangan itu seorang gadis memperhatikan titik-titik air pada kaca jendela kamarnya. Tetesan air pada jendela itu persis seperti cahaya bintang yang biasa ia lihat di langit malam. Mereka berkedip-kedip indah. Seiring tetesan itu menumpuk dan jatuh membentuk garis panjang pada permukaan kaca, bintang-bintang itu pun hilang.

Khanza menghela napas panjang. Gadis berstelan kemeja putih polos dan jeans biru dongker dengan rambut cokelat panjang yang digerai menutupi bahu itu baru saja hendak berangkat menuju kampus tempatnya kuliah. Tapi melihat hujan rasanya malas sekali ia menggerakkan kaki keluar rumah.

Khanza mengalihkan pandangannya pada dua lukisan berbingkai yang terpajang rapi di dinding kamarnya. Raut wajahnya berubah dalam air sendu. Gambar itu hanya dilukis menggunakan pensil tanpa warna lain. Tapi bukan itu yang membuat Khanza merasa sedih saat melihatnya. Melainkan karena lukisan tersebut, juga hujan di bulan desember, juga bintang-bintang bercahaya, adalah kenangan-kenangan berarti dalam hidupnya. Kenangan yang ingin sekali ia lupakan, namun tertanam di hatinya terlalu dalam.

Lagi Khanza menghela nafas berat. Ia teringat tugas dari seorang dosen yang harus dikumpulkannya pagi ini. Khanza bangkit dengan malas, bergegas mengambil tas selempangnya lantas keluar dari kamar.

Di ruang makan ia bisa melihat Mama yang sudah lengkap dengan stelan kantornya sedang duduk di meja makan bersama adiknya, Afrizal, yang juga telah bersiap pergi ke sekolah.

"Ada kelas pagi?" tanya Mama begitu melihat Khanza menuju ruang makan.

"Hm." Khanza hanya bergumam tak jelas.

Setelah melahap satu lembar roti isi buatan mamanya Khanza beranjak dari meja makan.

"Khanza pergi Ma." pamitnya tak bersemangat.

Mama dan Afrizal saling melempar tatapan heran. Tidak biasanya Khanza bersikap demikian. Mungkin karena hujan mengguyur sebagian besar wilayah Indonesia pagi ini yang membuat Khanza terlihat murung. Biasanya gadis itu berisik dan hiperaktif. Atau mungkin sebentar lagi akan terjadi badai di Jakarta? Baik Mama maupun Afrizal tidak terlalu memusingkannya. Hal yang biasa jika  mood seorang gadis mudah berubah-ubah.

Pagi ini Khanza memilih berjalan kaki sambil menenteng payung menuju halte bus. Lagi-lagi di luar dari kebiasaannya. Biasanya Khanza benci menggunakan kendaraan umum karena harus berdesak-desakkan dengan orang lain. Kali ini Khanza ingin menikmati suasana gerimis yang menurutnya indah lebih dekat lagi. Merasakan pijakannya yang basah dan merasakan angin dinginnya yang menyentuh kulit. Ia tidak sadar ketika sebuah sepeda yang kehilangan kendali nyaris menabraknya. Tubuhnya limbung karena terserempet sebelum akhirnya jatuh terjembab di permukaan aspal yang basah. Payung di tangannya terlepas. Hujan gerimis kecil pun membasahi sebagian rambut dan wajahnya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya si pengendara yang bergegas turun dari sepedanya untuk membantu.
Khanza meringis merasakan telapak tangannya yang sakit karena ia gunakan sebagai penopang. Ia berusaha berdiri; tangannya sibuk membersihkan debu dan kotoran dari bajunya.

"Eh hati-hati bawa sepedanya! Tidak lihat jalannya licin? Aih." Khanza mengeluh, jeans dan kemejanya sukses kotor karena jalanan basah pagi itu.

"Maaf." ungkap orang itu dengan nada penuh penyesalan.

Khanza menegakkan tubuhnya setelah merasa baju dan celananya cukup bersih. Seketika itu pandangannya terkunci. Ia membeku. Hal yang juga sama terjadi pada orang di hadapannya. Seolah waktu dengan sengaja berhenti mempertemukan dua mata itu pada satu garis yang sama. Sebuah takdir.

Ia berusaha mengumpulkan memorinya yang tercecer. Wajah ini, wajah yang selama ini ia rindukan. Pemuda ini, orang yang berdiri di hadapannya, adalah orang yang selama empat tahun terakhir membuat rindunya terasa pilu. Hatinya seperti dicubit keras. Kedua matanya berkaca-kaca, perlahan air mata itu jatuh begitu saja tanpa ia minta.

"Farhan?"

oOo

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang