Langit Senja dan Bianglala II

7 4 0
                                    

"Apa ini Afrizal!"

Khanza membanting selembar amplop yang didapatnya dari Bi Imah pagi ini. Katanya kemarin ada kiriman surat itu dari kantor pos yang langsung dikirimkan dari sekolah tempat Afrizal belajar. Pada awalnya Khanza tidak mengerti, karena tak biasanya sekolah memberikan surat ke rumah. Biaya sekolah mereka tidak pernah menunggak dan setahunya tidak pernah ada masalah apa pun di sekolah yang melibatkan anggota keluarga di rumah. Untuk yang terakhir itu sepertinya Khanza salah mengira, Afrizal membuat masalah di sekolah.

"Apa aku pernah mendidikmu untuk menjadi nakal, Afrizal?!" Khanza murka bukan main. Selama ini ia merasa telah mendidik adiknya dengan benar. Tidak ada yang salah dengan itu semua. "Coba jelaskan kenapa pada surat peringatan ini tertulis angka tiga? Kau kemanakan surat nomor satu dan nomor duanya hah? Sudah berapa lama ini berlangsung?"

Afrizal hanya duduk takut pada kemarahan Khanza.

Empat bulan yang lalu. Tepatnya empat bulan yang lalu Afrizal menghajar habis salah satu temannya tanpa alasan yang jelas. Akibat ulahnya itu Afrizal memperoleh hukuman dari guru konseling. Karena merasa takut, surat peringatan yang diberikan sekolah tidak disampaikannya ke rumah. Ia membuang suratnya dan bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa. Satu bulan kemudian Afrizal kembali dipanggil karena tidak ada konfirmasi dari pihak keluarga, Afrizal dijatuhi surat peringatan kedua dan hukuman skors selama satu minggu. Lagi-lagi surat peringatan yang tidak disampaikannya membawanya pada keputusan final dari sekolah, surat peringatan ketiga yang dikirim langsung ke rumah Afrizal dengan drop out sebagai hukumannya. Mulai hari ini Afrizal resmi dikeluarkan dari sekolah. Hal yang membuat Khanza tidak bisa membendung emosinya.

"Baiklah kau tidak mau bicara. Biar kamu jelaskan nanti pada Mama."

Seketika itu wajah Afrizal memucat. Ia mendongak menunjukkan keterkejutan.

"Jangan Kak!"

"Aku akan melakukannya!"

"Menurut Kakak, Mama akan peduli?"

Khanza tersentak tidak percaya dengan kalimat adiknya yang masih kecil. Benar, mamanya tidak akan peduli. Apa pun yang mereka lakukan mamanya tidak akan pernah peduli. Khanza tahu itu.

"Mama bahkan tidak datang pada pertemuan orang tua, Mama tidak hadir saat Afrizal memintanya untuk datang di acara pentas seni kelas. Mama juga tidak akan peduli tentang hal ini. Afrizal tidak sekolah pun Mama tidak mungkin peduli!"

"Afrizal!"

Khanza akan selalu berusaha mengerti keadaan mamanya, sampai sejauh mana pun mamanya mengabaikan mereka, tapi rupanya itu tidak terjadi pada Afrizal. Adiknya tidak bisa mengerti. Tidak mungkin selamanya pula mereka dituntut untuk mengerti. Sudah delapan tahun berlalu, tidak mungkin mereka akan terus hidup seperti ini. Musim saja berganti setiap tahunnya. Hati Khanza terasa teriris pedih.

Kemarahan Khanza sedikit demi sedikit surut. Ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Afrizal atas apa yang terjadi. Adiknya hanya anak kecil yang menuntut kasih sayang. Sesuatu yang tidak bisa Khanza lakukan sekalipun Khanza terus berusaha mengantikan posisi Mama untuk mendidik Afrizal.

Khanza berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan Afrizal. Membelai rambut adiknya kemudian memegangi pundak kecil anak itu.

"Jangan berbicara seperti itu, Adik. Tidak ada ibu yang membenci anaknya. Mama menyayangi kita lebih dari apa pun di dunia ini. Tak ada yang lebih berharga selain kita dalam hidupnya. Mama hanya memerlukan waktu, beri ia waktu untuk memahami itu. Yang harus Adik lakukan adalah belajar dengan giat agar Mama bangga. Mengerti?"

Afrizal mengangguk paham. Kakaknya selalu bisa membuat keadaan menjadi lebih baik.

"Afrizal mengerti, Kak."

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang