Hujan dan Kenangan II

4 1 0
                                    

Ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemejanya. Tangannya yang lain mengambil pemantik api dari saku celananya sementara tangan tadi menaruh batangan tembakau itu di mulutnya. Sesaat sebelum api menyulut ujung rokok, tangan lain merenggut rokok tersebut lantas membuangnya ke bawah.

"Berhenti bertindak bodoh!" kata suara itu.

Farhan menoleh dengan mata melotot tajam.

"Bukan urusanmu."

Khanza yang berdiri di samping Farhan mengambil sesuatu dari saku seragamnya. Sebuah permen. Lalu menyerahkan itu pada Farhan.

"Ini! Jauh lebih baik." Ia tersenyum.

Dengan wajah malas bercampur kesal Farhan menerima permen tersebut. Membukanya kemudian melahapnya dalam sekali suap. Merasakan manis meleleh di mulutnya.

"Apa sih untungnya merokok? Yang jelas kesehatanmu nanti terganggu."

Farhan menatap Khanza tak suka. Tangannya ia sedekapkan di atas dada, wajahnya ia tekuk seraya merapatkan bibirnya enggan meladeni ucapan Khanza yang ―enggan ia akui― benar adanya.

"Kamu tahu hanya benda itu yang bisa membuatku tenang." jawaban Farhan membuat Khanza balas menatapnya tajam.

"Hanya semacam gas yang bahkan tidak berbentuk? Kamu bilang itu bisa membuatmu tenang?" Khanza tertawa sinis. Merasa geli dengan kalimat tak masuk akal yang dilontarkan Farhan barusan.

Mereka sedang berada di atap sekolah. Suatu kebiasaan baru bagi Khanza setiap tidak ada pekerjaan lain sepulang sekolah ia akan menyempatkan diri datang ke tempat itu. Tempat di mana Farhan biasa sendirian.

Langit hari ini mendung. Butiran halus air mulai berjatuhan. Gerimis turun menyegarkan udara Kota Jakarta yang penat karena kemarau panjang.

Farhan mendongak memandangi langit. Tangannya terangkat merasakan butiran-butiran itu jatuh secara perlahan. Hal itu mengingatkannya pada sesuatu.

Perubahan raut wajah Farhan tak luput dari tatapan tajam Khanza. Gadis itu seperti bisa merasakan kesedihan mendalam yang ditanggung Farhan selama ini. Semua tersirat dari kilatan matanya yang meredup.

"Aku selalu berharap bisa melihat bintang. Tapi langit malam terlalu hitam." Farhan tersenyum sedih. "Aku juga selalu ingin melihat warna langit musim hujan, tapi awan-awan itu tidak membiarkanku." Semua hal yang Farhan miliki sepenuhnya telah pergi.

Kalimat Farhan membuat Khanza tertegun.

Tak sadar Farhan, waktu telah menenggelamkan dirinya. Tingkah lakunya terlalu mudah terbaca oleh Khanza. Bayangkan saja beberapa menit dirinya diam termenung tak menyadari Khanza memperhatikannya.

Langit bertambah gelap karena mendung. Perlahan rintik-rintik gerimis bertambah banyak. Dingin mengabutkan jendela kelas. Hujan kecil yang indah menyegarkan dedaunan hijau pepohonan. Semakin lama intensitasnya semakin membesar sampai akhirnya hujan menjadi deras. Bau tanah basah menguar mencuci udara. Perasaan yang menenangkan.

Farhan menarik Khanza agar berteduh di dekat tangga.

"Kamu harus tahu ini," ungkap Farhan. "Lukisan yang pertama kali aku buat untuk festival itu, aku membuatnya karena terpaksa. Aku bisa melukis, tapi aku benci melakukannya. Tapi untuk lukisan kedua yang kuserahkan padamu, kau tahu, untuk pertama kalinya aku merasakan betapa melukis itu menyenangkan." Farhan tersenyum.

"Kamu hanya harus mengasah bakatmu lebih jauh lagi. Setiap orang memiliki satu persen bakat dalam hidup mereka. Tapi hanya sedikit yang mengeluarkan sembilan puluh sembilan pesen usaha untuk mengasahnya."

"Kamu benar."

Hujan semakin deras. Tapi tidak ada niatan keduanya untuk beranjak dari tempat itu. Khanza senang bermain-main air hujan dengan tangannya. Sewaktu kecil Khanza sering bermain hujan-hujanan bersama kakaknya.

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang