Pemuda Dingin dan Gadis Hangat

62 5 6
                                    

SATU
Pemuda Dingin dan Gadis Hangat

Empat tahun yang lalu,

Senin pagi Jakarta macet seperti biasanya. Suara riuh para pedagang asongan memenuhi udara bersama bisingnya klakson juga deru mesin kendaraan. Suara peluit tukang parkiran seperti pelengkap keramaian, dan gelak tawa seorang bapak pengangguran di warung kopi pinggiran jalan cukup menghidupkan pagi di jalanan.

Meskipun langit berawan, udara di tempat itu terasa sangat panas. Di dalam angkutan umum yang sedang berjalan merayap di tengah kemacetan, Farhan harus berdesak-desakkan dengan penumpang lain. Bayangkan saja ia duduk bersebelahan dengan ibu-ibu yang memangku keranjang sayuran, lalu berhadapan dengan seorang kakek tua yang menjinjing tas besar, dan ibu-ibu lainnya dengan bawaan mereka yang memenuhi isi angkot. Sesak, penat, bau, itulah yang dirasakan Farhan di dalam sana.

Pemuda berambut cepak itu melirik jam tangannya. Pukul 06.50. Sepuluh menit lagi. Farhan akan terlambat sampai ke sekolah. Ia duduk dengan gelisah, sesekali melihat-lihat keluar lalu kembali ke jam tangan.

"Pak, SMA Pancasila masih jauh?" tanya Farhan dari belakang.

Angkot mendadak berhenti, penumpang lain terdorong keras ke depan disusul pekikan para ibu-ibu. Bahkan salah satu keranjang sayuran seorang ibu jatuh hingga isinya berserakan. Seketika seisi mobil pun riuh menyalahkan supir angkot yang semena-mena memberhentikan mobil.

"Den! Kalau mau ke SMA Pancasila bukan ini angkotnya, kamu salah naik!" sahut supir angkot dari depan membuat Farhan menyadari sesuatu. Pantas jalannya tidak begitu familiar.

"Kenapa tidak bilang Pak?"

Farhan bergegas turun dari angkot. Berusaha memprotes tukang angkot yang tidak memberitahunya sejak awal.

"Aden sendiri yang salah. Kok arah ke sekolah sendiri tidak hafal?" balas tukang angkot dengan logat jawanya yang kental berbalik menyalahkan Farhan. Kepalanya melongok dari jendela untuk melihat Farhan yang berdiri di luar pintu mobil. "Pokoknya saya ndak mau tahu, Aden harus bayar ongkosnya!" tuntutnya tak terima.

"Tidak bisa Pak..."

"Lha saya tidak bisa balik lagi. Sudah untung saya berhenti. Masih banyak penumpang yang harus saya antar."

Farhan membuang napas panjang. Tak mau ambil pusing, dengan berat hati ia mengeluarkan recehan dari sakunya untuk membayar.

"Nah, dari sini naik angkot nomor tujuh belas, yang warnanya merah. Bilang mau ke SMA Pancasila, nanti juga sampai." Bapak supir angkot itu tersenyum seraya menepuk bahu Farhan sebelum melajukan kembali mobilnya.

Kalau boleh, ingin rasanya Farhan menendang angkot tersebut saking jengkelnya. Tapi hal itu tidak bisa ia lakukan jika tidak mau berakhir dengan anggapan gila dari orang lain. Kini Farhan sendiri. Di tempat yang ia tidak tahu di mana. Ia memang lahir dan besar di Jakarta, tapi tidak banyak bepergian selain kegiatan rutinnya ke sekolah. Sebenarnya selama ini ia terlalu bergantung pada supir keluarga, satu hal yang membuatnya buta arah meski itu di wilayahnya sendiri.

Farhan memastikan kendaraan sedikit renggang sebelum melangkahkan kaki menyeberang. Namun saat itu sebuah mobil melaju dengan kecepatan penuh dari kejauhan. Farhan tersentak tapi kakinya terlalu lemah untuk bergerak. Kemudian terdengar bunyi keras gesekan ban dan aspal diikuti lengkingan klakson panjang. Untuk sesaat Farhan berpikir mungkin ini akhir dari hidupnya. Mobil yang nyaris menabraknya berhenti di samping tempat Farhan berdiri.

Si pemilik mobil keluar dengan wajah tak kalah pucat. Lalu membanting pintu mobil sampai mengeluarkan bunyi bedebam keras. "Kamu gila! Tidak lihat lampunya masih hijau?!"

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang