Farhan Navis Novandara

14 4 0
                                    

DUA
Farhan Navis Novandara

Kelopak matanya terbuka tatkala suara dering jam beker bergemuruh di keheningan kamarnya yang luas. Di tengah suasana terang kamar ia meraba-raba meja di samping tempat tidur lantas mematikan suara berisik tersebut. Pemuda itu bangun, melangkah menuju kamar mandi untuk bersiap-siap pergi ke sekolah.

Hari ini adalah hari senin di mana semua orang memulai kembali aktivitas setelah bermalas-malasan di akhir pekan. Farhan keluar dari kamarnya dengan telah lengkap menggunakan seragam dan menggendong tas yang tampak penuh dan berat berwarna abu-abu. Ia menuruni tangga, melihat papanya sudah berada di meja makan untuk sarapan. Farhan duduk di kursinya. Memulai sarapan tanpa suara.

"Hari ini berangkat dengan Pak Aryo, jangan naik kendaraan umum lagi."

Farhan hanya mengangguk. Tidak banyak kata-kata yang keluar saat sarapan pagi itu berlangsung.
Selesai sarapan seperti biasa Farhan pergi ke sekolah diantar oleh supir keluarga mereka. Sesampainya di kelas Farhan berjalan menuju pojok ruangan tempat di mana bangkunya berada. Farhan menaruh ranselnya kemudian duduk menyandarkan kepala pada sandaran kursi seraya memejamkan mata. Sungguh rutinitas yang membosankan.

Setiap hari ia pergi ke sekolah, akan tetapi tidak banyak kegiatan yang ia lakukan. Kadang saat pelajaran berlangsung tanpa sengaja Farhan tertidur tanpa ada yang menyadari. Kemudian Farhan bisa langsung pulang karena tidak mengikuti satu pun ektrakurikuler di sekolah. Esoknya ia akan pergi lagi ke sekolah. Begitulah seterusnya bagaimana rutinitas itu terasa sangat monoton. Sekalipun Farhan menikmati hidupnya yang tenang itu.

Pada jam istirahat, Farhan melangkah menuju atap sekolah. Tempat yang paling ia favoritkan di sekolah ini. Tanpa ada minat untuk mengisi perut terlebih dahulu ke kantin.

Farhan mengeluarkan sesuatu dalam sakunya. Sebatang rokok. Ia kemudian menyulut rokok itu, menghisapnya dengan tenang lalu mengeluarkan asap putih dari mulutnya sambil mendesah merasakan kelegaan. Seolah segala beban hidupnya terlepas bersama udara bebas.

Farhan tak sadar seseorang memperhatikannya sedari tadi. Khanza berdiri di ujung atap gedung, kedua tangannya memegang sebuah kamera. Kakinya bergeming setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Pemuda itu, pemuda yang beberapa waktu lalu hampir tertabrak mobilnya di jalan.

"Farhan?" Ia masih ingat nama itu.

Farhan terlonjak dari posisi awalnya bersandar pada tepian atap gedung. Pandangannya yang dingin mengunci Khanza. Gadis itu menelan ludah takut. Kakinya perlahan mundur ke belakang. Sesaat Farhan menyadari sesuatu saat matanya melihat benda yang sedang dipegang gadis itu. Sontak ia pun membuang puntung rokok yang tinggal sedikit di tangannya lalu berlari menghampiri Khanza.

Kaki Khanza refleks berbalik dan berlari menjauhi pemuda itu. Farhan mempercepat langkah kakinya. Khanza tidak mengerti dengan apa yang sedang coba ia lakukan sekarang. Bisa saja ia berbicara baik-baik dengan pemuda itu tanpa perlu melakukan adegan kejar-kejaran seperti ini. Tapi Khanza memang tidak sengaja melakukannya. Saat dirinya mencari pemandangan untuk difoto di atap sekolah, tanpa sengaja ia memotret seorang siswa yang diam-diam sedang merokok. Sejujurnya Khanza ketakutan saat melihat tatapan tajam pemuda itu yang seperti mata tombak siap menerkamnya. Ia hanya mengikuti nalurinya untuk berlari.

Sialnya di saat seperti ini kedua kakinya menjadi tidak begitu sinkron. Khanza tersandung kakinya sendiri dan jatuh tersungkur. Ia lalu mengutuk kaki itu karena tidak membantunya sama sekali.

"Ugh." ringisnya kesakitan ketika mencoba untuk berdiri.

Orang yang Khanza takuti sejak tadi semakin mendekat. Ia kemudian berjongkok saat melihat kondisi Khanza yang tidak berdaya.

Hitam Putih Abu-Abu [completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang