10. Kiss

1.4K 145 6
                                    

Gue dan Yasmin berpisah di lantai 3 sore ini karena dia ada urusan dengan perkumpulan anak band. Iya, band. Cewek itu masuk band gegara nge-fans sama Zen. Iya, Zen, fans gue. Wkwk! Kuliah sore. Hemmm.... Lagi dan lagi! Empat hari berturut-turut setelah kejadian Zen ditonjok Mendung. Ini semua gara-gara jam mata kuliah pengganti. Siapa sih yang buat jadwal kuliah. Ngeselin!

"Firda!"

Ada suara cowok panggil gue. Gue kayak kenal suara itu, tapi kok dia tahu nama gue. Gue masih belum noleh. Kalik gue salah dengar.

"Firda Sahara!"

Dia panggil lagi. Kok tahu nama panjang gue sih? Fans gue nih pasti. Tapi fans yang mana lagi coba? Perasaan fans gue cuma Zen deh, itupun dia belum tahu nama gue. Gue noleh. Zen! Gue bilang apa, fans gue! Hebat dia bisa tahu nama gue. Terharu banget. Seumur-umur baru tahu sekarang ada cowok nge-fans sama gue sejujur ini.

"Kok Kakak tahu nama aku?" tanya gue, basa-basi.

"Tanya Ryan. Mantan orang yang lo suka," dia nyengir usil.

Sial! Pasti itu manusia cerita. Ah, malu banget gue.

"Dih! Nggak usah dibahas!"

"Nanti malam ada acara nggak?"

"Nggak. Kenapa emang?" jawab gue nerocos aja.

"Emm... kencan yuk?" dia tersenyum usil.

"Hah!" teriak gue reflek.

Dia ketawa geli. Sumpah resek banget! Jantung gue rasanya mau copot di sini! Eh, dia malah ketawa!

"Enggak, nggak. Bercanda! Oke, please jangan ge-er. Gue mau ngomong sesuatu sama kamu. Penting banget. Di kafe Express, jam setengah 8. Nanti malam gue jemput di mana nih?"

Dia ngomong kayak kereta, nyamber aja!

"Tunggu dulu, tunggu dulu. Kakak mau ngomong soal apa?"

"Mendung," dia senyum dengan memiringkan kepalanya ke kanan.

Gue nggak tahu maksudnya apa dia miring-miringin kepala kek begitu. Tengeng kalik. (Tengeng: Kepala yang hobi banget miring-miring karena pegal).

"Apa hubungannya sama aku?"

"Ya... pokoknya ada hubungannya."

"Nggak ah!"

"Ayolah, please..."

"Aku nggak mau masuk ke masalah kakak sama Kak Mendung."

"Nggak kok, nggak. Aku nggak akan bawa-bawa kamu. Percaya! Tenang aja. Ini soal lain. Ya?"

Gue manyun. Soal apa sih bikin kepo (ingin tahu). Iya, gue kepo banget jadinya!

"Ya, udahlah. Jemput di depan gang perumahan Merpati nomor 2B aja."

"Nah, gitu dong... makasih Firda..." dia senyum manis.

Iya, manis. Gue jadi pingin lihat senyumnya Kak Mendung. Eh, omong apa gue barusan! Ah, nggak! Nggak! Lupakan cowok itu! Nggak balik-balikin payung gue lagi. Tanpa dosa. Jangan dikira gue lupa dengan payung kecil gue yang imut itu, ya.

"Em, ya udah ya. Aku balik kumpul dulu. See you tonight!" dia senyum lagi, lalu pergi setelah menerima anggukan dari gue.

Gue kembali melakukan perjalanan gue menuruni tangga lantai 2 yang udah mulai sepi nggak ada orang.

Brukk!

Gue nabrak orang pas belok dari tangga lantai 2. Good!

"Mata dipake!" bentak dia yang suaranya sama dengan cowok yang nolongin gue dari kepleset pas ospek.

Iya, Mendung.

"Setidaknya aku nggak bengis!!" sindir gue, pedes tanpa natap mata dia!

Gue tidak mengacuhkan dia. Oke, gue harus pergi dari sini. Gue benci dengan kelakuan cowok itu dengan orang lain. Tapi gue nggak bisa pergi. Dia narik tangan gue dan menghempaskan gue ke tembok dengan kasar. Tahu nggak? Sakit banget punggung gue, sialan! Dan dia tiba-tiba mendekatkan tubuh dia ke gue dengan dua tangan yang mengurung gue. Mampus! Dia mau ngapain gue my God! Gue panik!

"Apaan sih kamu!" tentang gue sambil berusaha mendorong Mendung. Tapi dia lebih kuat ketimbang gue.

Gue benar-benar panik. Gue mundur-mundur padahal udah mentok ke tembok. Dia malah makin dekatin gue. Gue pingin banget teriak sekencang-kencangnya tapi nggak bisa. Gue kembali pada perasaan yang sama pas gue payungin dia dulu. Dia natap gue dekat banget dan lama banget! Haduh nggak ngerti lagi betapa deg-degannya gue! Parah! Pandangan matanya benar-benar nusuk. Jantung gue ngediskonya kencang banget lagi. Mungkin pipi gue bukan hanya bersemu merah muda, tapi traffic light! Gue nunduk sedalam-dalamnya. Gue nggak berani natap dia dalam jarak sedekat ini. Ngeri banget posisi gue sekarang.

"Aku mau ngomong. Lihat aku!" dia mulai omong dengan nada bicara yang sewot.

Gue tetap nggak mau lihat. Nggak akan!

"Hei, lihat aku!" kata dia lagi.

Nama gue Firda! Tiba-tiba dia narik kucir rambut gue pelan dan membiarkan rambut gue tergerai. Gue masih nggak bisa gerak dan nggak bisa nolak. Dia menjatuhkan kucir rambut gue seenak jidat dia. Dipikir tuh kucir rambut sampah non-organik apa. Resek banget!

"Kamu mirip adik aku kalau nggak dikucir."

Terus gue suruh ngapain? Gue nggak kenal sama adik lo. Gue juga nggak mau sama-samain bentuk adik lo kek apa. Jantung gue belum berhenti disko. Sialan! Sekarang dia cuma kurung gue dengan 1 tangan kirinya. Harusnya gue bisa lari sekarang. Tapi kaki benar-benar nggak bisa diajak kerja sama. Dia angkat dagu gue supaya gue bisa lihat ke wajah dia. Tapi sorry ya, bola mata gue masih bisa nolak lihat lo.

"Lihat aku sebentar... aja. Aku mau ngomong."

Ya, udahlah iya-iya! Bawel benar nih orang. Mau ngomong tinggal ngomong aja ribet amat sih! Gue natap dia dan dia melepas dagu gue.

"Bukan maksud aku mau bengis sama Zen. Aku punya alasan melakukan itu. Ada hal yang kamu nggak tahu dan tolong jangan lihat aku sejelek itu. Bukan maksud aku juga paksa-paksa kamu semau hatiku. Aku cuma nggak mau sesuatu hal yang sama, terjadi sama kamu. Ya walaupun aku tahu, kamu memang bukan siapa-siapa aku. Tapi aku nggak mau. Oh ya, terserah kamu mau panggil aku apa. Aku nggak benci kok. Mendung juga boleh kalau menurut kamu memang pas," dia benar-benar bicara dengan tenang dan tatap dia benar-benar tenang, meskipun mendungnya masih ada.

Jantung gue nggak disko lagi. Gue mulai mengerti. Walaupun nggak benar-benar pasti tahu, apa hal yang dimaksud itu sebenarnya. Kemarin katanya benci gue panggil Mendung. Labil nih orang.

"Oke... maafin aku, Kak," akhirnya gue bisa ngomong. Tapi lirih.

"Nggak usah minta maaf. Aku yang salah, maaf ya."

Terserah lo deh. Gue nurut aja dah. Gue senyumin aja deh.

"Mungkin sekarang aku mendung. Tapi kalau kamu mau jadi pelanginya, aku siap untuk hujan sekarang. Dan aku bukan Pangeran Bahagia. Aku, ya aku. Mendung."

Gue terdiam. Trenyuh. Ternyata dia dengerin dan meresapi kata-kata gue dahulu kala. Wait, jadi pelanginya dia? Maksudnya apa? Kok gue jadi bego begini ya? Gue masih melongo nggak jelas, hingga gue tersadar bahwa gue harus tanya secara pasti ke dia.

"Maksudnya jadi pelangi?" tanya gue, polos.

Yang terjadi adalah...

Dia cium pipi kiri gue pelan. Jelas, gue kaget! Kaget pangkat sejuta! Jantung gue kembali berdebar. Debarannya cukup teratur. Gue jadi jengah karenanya. Selesai itu, dia natap gue lagi. Gue lihat dia sebentar, terus gue nunduk lagi. Pandangan mata gue ke mana-mana, kecuali ke arah tatap dia. Dia ngelus-elus kepala gue pelan dan gue natap dia lagi sebentar. Gue mimpi kayaknya. Dia pergi meninggalkan gue. Debaran jantung gue perlahan berhenti sesuai langkah kepergian cowok itu.

Gue nggak ngerti. Gue ini sebenarnya jatuh cinta atau apa? Habis ini balik ke rumah rasanya gue pingin mandi pakai Sunlight untuk menghilangkan noda membandel di pipi gue. Kalau begini gue jadi ingat sama payung kecil gue yang belum balik-balik sampai sekarang.

Mendung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang