12. Peringatan

1.2K 129 3
                                    

Si Payung Kecil. Hehe. Itu sebutan dari gue buat dia sejak ada sejarah dia payungin gue pas hujan dan panggil gue 'Mendung'. Gue benar-benar rindu panggilan itu lagi. Tapi bukan berarti gue nggak tahu nama dia. Gue masih sangat ingat nama dia yang tertera di papan nama yang dikalungkan di lehernya saat ospek.

Dia benar-benar mengingatkan gue dengan Triya, adik gue. Alasan mereka memanggil gue Mendung itu sama. Hehe. Kebetulan mungkin. Gue nggak pernah lupa buat balikin payung dia. Bahkan selalu gue bawa kuliah. Gue bukannya sengaja nggak mau balikin ini ke dia. Gue jarang lihat dia. Tapi pas sekali lihat dia, gue malah lupa dengan tujuan gue balikin payung. Gue fokusnya malah cuma ke dia.

Mungkin gue kesambet kemarin. First kiss gue mendarat di pipi dia. Untung bukan ke bibir ya. Mungkin setelah itu dia bakal marah ke gue. Gue bego ya? Main nyosor aja. Haha. Udah terlanjur. Harusnya gue nggak gitu. Itu nggak sopan. Tapi kok dia nggak nolak ciuman gue ya by the way? Apakah dia punya rasa yang sama dengan gue? Ah, entahlah. Perasaan gue aja mungkin. Mungkin dia kaget atau gugup, jadinya nggak bisa gerak.

Dia gadis yang lucu dan gue selalu menanti detik-detik dimana gue dipertemukan dengan dia oleh Tuhan. Tapi waktu jarang mempersatukan kita. Hehe. Nggak masalah. Sekali, dua kali ketemu dia itu udah berarti kok dalam hidup gue. Setidaknya ada secuil kebahagiaan yang gue dapat lihat dari dia. Kalau Triya masih hidup, dia udah sebesar Payung Kecil.

Tapi gue nggak sama sekali menganggap kalau Payung Kecil adalah cerminan dari adik gue. Dia udah jelas orang lain yang bukan Triya. Meskipun gue merindukan adik gue. Batin gue sering berantakan ketika gue melihat Zen dan itu membuat gue kembali mengingat Triya. Kenapa pula adik gue harus bunuh diri? Harusnya dia kuat seperti dia menguatkan kakaknya yang satu ini buat terus hidup di bawah ketidak pedulian orang tua kita. Seperti dia menuntun gue untuk nggak salah jalan. Gue masih membenci cowok itu. Gue masih nggak ngerti, kenapa cowok itu bisa aman-aman aja setelah menodai Triya. Hidup bukan cuma sekadar lucu, hidup juga kadang berlawanan.

Oke, akhirnya gue menyelesaikan rapat BEM siang ini. Kayaknya lebih baik payung kecil ini gue cangking aja kalik ya, biar ingat buat balikin kalau pas ketemu dia. Gila aja, gue nggak mengembalikannya selama berbulan-bulan. Dia masih ingat nggak ya?

Pas! Pas banget! Cewek itu hampir lewat ruang BEM pas gue baru aja keluar ruangan. Entah kebetulan macam apa lagi ini. Dengan rambut yang dia biarkan terurai, dia natap gue lurus dengan tatapan berani. Kayaknya dia mau marah deh sama gue.

"Aku mau balikin payung kamu," kata gue sambil menyerahkan payungnya ke dia, "Maaf ya lama. Aku bawa terus kok payungnya ke kampus, cuma kalau ketemu kamu, aku jadi lupa."

Dia masih diam natap gue tajam. Duh kenapa sih dia?

"Terus... aku juga mau..." belum selesai gue ngomong, dia nyamber payung milik dia dari tangan gue, nampar gue sekali, dan langsung menyela bicara gue.

"Kalau kakak suka sama aku, perlakukan aku dengan baik dan jadilah orang yang baik, Kak! Jangan seenaknya sendiri! Kakak pikir aku apa dan siapa? Aku punya harga diri! Aku nggak suka sikap Kakak kemarin!" kata cewek itu, tegas, kemudian dia berlalu meninggalkan gue.

Apakah ini sebuah peringatan untuk gue bahwa dia nggak akan mau jadi pelangi buat gue? Gue sekarang yang diam sambil nelen ludah. Gue nggak nyangka dia bakal se-cool ini bicara seperti itu ke gue. Gue pikir dia kemarin diam juga mau gue gituin. Oke, gue memang salah. Mungkin kemarin dia kaget atau hilang sadar, makanya dia diam. Dia perempuan baik-baik, tapi gue perlakukan dia dengan nggak sopan kemarin. Iya, gue akui gue salah. Gue juga nggak ngerti kenapa gue jadi senakal ini. Terus gue harus apa sekarang? Nasi sudah menjadi bubur. Dia marah sama gue. Bara memang berengsek! Dan sekarang gue kacau.

Mendung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang