14. Pasrah

1.2K 134 0
                                    

Lama gue mikir setelah Firda mengucapkan keputusan itu. Sampai gue nggak sadar bahwa pikiran gue memakan waktu satu jam. Dia adalah perempuan biasa yang berpikir dan berhati-hati. Dia tidak bisa seenaknya mengambil langkah. Dia memang perempuan yang baik-baik. Oke, kalau memang itu mau Firda, gue bisa apa. Masa iya gue paksa. Dia memang punya hak. Gue yang nggak punya hak atas keputusan dia.

Cara dia ngomong barusan seolah menampar gue banget. Gue yang dulu selalu meminta kebahagiaan dari Triya, sementara gue nggak memikirkan akibat-akibat apa yang bakal terjadi pada Triya. Gue senyum getir. Ini kesalahan kami berdua yang sama-sama nggak berpikir. Yang kita tahu dan rasakan hanya kesenangan, sampai kita lupa akan adanya dosa. Sampai kita lupa kita punya Tuhan. Sampai kita lupa bahwa Tuhan mengawasi kita. Sempurna aja segala kerusakan dan kekacauan menghampiri kita.

Gue semakin sadar dan benar-benar buka mata atas omongan Firda. Dia memang perempuan yang nggak salah membuat Bara jatuh cinta. Gue sendiri pun jatuh cinta. Sepertinya gue harus mencari Bara sekarang, meminta maaf atas segala apa yang terjadi, walaupun maaf aja nggak cukup. Tapi permusuhan kita harus kita sudahi.

"Ada Bara?" tanya gue di ruang BEM.

"Tadi pas rapat ya ada, tapi sekarang nggak tahu ke mana dia," jawab seorang cowok di dalam ruang BEM, gue nggak kenal siapa.

Nggak ada Bara. Dia ke mana ya? Gue harus tetap cari ke tempat-tempat yang biasa dia pijaki deh.

"Ngapain lo cari gue? Cari mati?" ucap seseorang di belakang gue saat gue melangkah hampir menuruni tangga.

Gue kenal banget suara itu, Bara. Gue noleh dan tatap muka dia yang udah siap ngebunuh gue.

"Gue mau ngobrol baik-baik sama lo. tolong redam amarah lo dulu," jelas gue, tenang.

"Oke. Gue dengerin," ucap dia ramah.

Nggak biasanya dia seramah ini. Biasanya dia nggak mau dengar gue ngomong, bahkan langsung main hajar aja. Benar-benar aneh. Mungkin karena tempat ini ramai. Iya, tempat ini memang ramai dan sangat nggak memungkinkan buat Bara hajar gue. Yang ada malah gue sama Bara viral kelahi di sini.

"Gue mau minta maaf atas segala hal yang dulu sampai kini terjadi. Gue tahu, maaf aja nggak cukup. Tapi gue memang cuma bisa itu. Dan kalau lo bersedia, gue mau jadi sahabat lo lagi. Kita sama-sama buang jauh-jauh kebencian dan kedendaman ini. Kita sama-sama berpikir jernih atas semua yang sudah terjadi. Kita sama-sama renungkan bersama apa yang harus gue ubah, gue sadar, dan begitu pula dengan lo. Atau kalau lo mau penjarakan gue sekarang, gue siap."

Bara diam, dia natap gue datar, tapi seperti mikir.

"Jadi lo sekarang sadar apa yang sudah lo perbuat?"

"Sangat sadar. Bukan dari sekarang sadarnya. Dari dulu. Cuma gue belum berani aja buat ngomongin ini ke lo. Gue takut lo akan memenjarakan gue. Tapi semakin kesini, nggak segera berbaikan sama lo, membuat gue selalu dihantui rasa bersalah dan dosa."

"Terus langkah selanjutnya buat diri lo sendiri apa?'

"Gue udah taubat. Gue udah nggak lagi minum-minum, ngerokok, apalagi hal-hal buruk dan megah lainnya. Jujur, gue takut sama Tuhan. Sejauh ini, gue udah belajar untuk menahan diri dan hidup sehat."

"Gimana caranya gue bisa yakin bahwa lo benar-benar sadar?"

"Ikut gue, kita saudara, kita saling memaafkan, dan kita sama-sama mengubah diri menjadi manusia yang lurus. Selesai."

Dia mendekati gue dan tatapan tajamnya. Dia mau hajar gue lagi? Oke, nggak apa-apa. Hajar aja. Gue pasrah. Tuhkan, dia mengepal tangan kanan dia keras-keras. Udahlah, udah. Hajar aja. Gue pasrah. Hajar lagi aja, supaya gue semakin sadar bahwa manusia seperti gue memang tidak pantas dimaafkan.

Dia angkat tangan kepalan dia ke atas dengan cepat dan... dia rangkul gue layaknya sahabat seperti dulu.

"Kita saudara," kata dia sambil tersenyum ramah dan menepuk pundak yang di rangkul dengan pelan.

Gue tersenyum lebar, gue nggak menyangka kalau tadi dia cuma akting. Apa yang membuat dia memaafkan gue secepat ini? Firda? Emm... masa sih? Atau sadar sendiri? Duh, nggak tahu deh. Yang penting gue dimaafkan dan kita sahabatan lagi. Kita sama-sama turun dari tangga masih dengan senyum ramah yang nggak menyangka kalau kita baikan.

Tepat di tengah tangga pas kita berdua turun masih dengan senyum ramah kita masing-masing, kita ketemu Firda! Firda natap kita berdua dengan bingung. Mungkin dia lagi mikir, apa yang terjadi dengan kita berdua. Gue langsung nengok ke Bara. Gue pikir Bara bakalan senyum-senyum sendiri. Ternyata muka dia datar banget lihat Firda, bahkan cuek. Kok?

Bara membuka jalan untuk Firda tanpa mengucap sepatah kata pun, sementara Firda hanya menunduk dan agak sedikit menoleh ke kita. Mungkin dia masih penasaran, ada apa dengan kita. Gue sendiri pun masih berasa mimpi gue baikan sahabatan sama Bara.

"Jadi, kenapa lo maafin gue gitu aja?" tanya gue penasaran setelah kita sampai di lantai 1."

"Dari seseorang gue belajar. Gue belajar bahwa kesalahan seseorang pasti ada. Dan kebejatan lo dulu itu nggak semuanya salah lo. Triya sendiri yang mau. Dia nggak bisa menahan apa yang harusnya dia jaga. Dia membiarkan harga dirinya rusak. Dia depresi juga karena nggak bisa menerima kenyataan atas kesalahan apa yang dia perbuat sendiri. Walaupun sebenarnya lo juga salah. Tapi mau penjarain lo gimana, orang yang cewek aja mau, dan itu bukan pemerkosaan.

Mungkin selama ini lo berpikir bahwa lo ini sangat tidak pantas untuk dimaafkan, karena lo selalu terpojokkan dengan maki-makian dan kedendaman gue. Gue sadar bahwa dendam nggak ada gunanya. Gue menghargai orang yang mau berubah. Orang yang mau membuka mata dan mengakui bahwa dia memang salah dan sadar untuk berserah diri dengan Tuhan-nya," Bara tersenyum untuk gue, "Terus kalau lo jatuh cinta lagi, lo bakal apa?"

"Berhubungan sehat sampai gue siap buat nikahin dia. Gue kapok," jawab gue, jujur.

Bara tertawa kecil.

"Kalau lo?" gue penasaran.

"Kalau gue... gue juga sama. Gue cumaa ingin menjadi orang baik-baik seperti dia yang baik-baik."

"Emm... si dia siapa ya? Kok lo udah tahu banget kalau dia baik-baik?"

"Lo mau gue pukul lagi?" canda Bara.

"Mau dong... tapi kasih tahu orangnya."

"Sialan lo! Nggak ah! Gue lebih senang menyimpannnya sendiri kalau soal cewek."

"Hahah... lo selalu gitu dari dulu. Oke. Gue nggak paksa kok. Eh, gue ada kuliah nih. Gue duluan ya, Bar."

"Oke... sip! Semangat Zen!"

Gue hanya mengacungkan jempol lalu pergi meninggalkan Bara. Firda benar. Kalau memang Mendung mencintainya dengan sungguh-sungguh, dia akan sadar dengan sendirinya apa yang harus dia ubah. Dan Bara memang sadar dengan sendirinya. Firda beruntung dan gue akan mengalah. Karena gue yakin, Firda menyukai Mendung juga.

Mendung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang