13. Keputusan

1.2K 126 0
                                    

Gue akuin sekarang walaupun gue memang menyukai cowok itu, BARA BRENGSEK!! Kenapa sih lo harus cium gue? Nggak ada cara lain apa yang bisa lo tunjukkan kalau lo suka sama gue dengan cara yang elegan. Lo pikir gue makanan yang bisa langsung asal icip gitu?! Gue nggak suka! Terus entar kalau semisal lo nggak suka lagi sama gue, lo akan pergi begitu aja gitu? Meninggalkan gue yang sudah lo sentuh? Dasar berengsek! Gue bukan dunia lo, gue perempuan biasa yang nggak suka aneh-aneh. Sekarang posisi gue lagi kesel banget di bawah pohon nggak tahu apa namanya ini. Gue nggak terima pokoknya dengan sikap Kak Bara! Orang mendung yang gue jamin bakal mendung terus kalau suka memperlakukan orang seenak jidat!

"Fir..." panggil seseorang dengan suara laki-laki di belakang gue.

Gue langsung nengok, males nebak. Dia Zen. Ngapain lagi dia ke sini di saat muka gue lagi garang begini. Gue lagi BETE!

"Boleh nggak aku ngobrol bentar sama kamu?" kata dia sambil memposisikan diri untuk duduk di samping gue, padahal gue belum mempersilahkan.

"Apa lagi sih!? Ngobrol apa?"

"Aku memang harusnya nggak berhak meminta kamu seperti ini. Tapi aku merasa bahwa cuma kamu yang bisa bantuin aku dan dia, Mendung."

Kyaaaa Mendung lagi! Kenapa sih nih orang! Ngebet banget minta gue bantuin mendung? Gue nggak jawab. Gue membiarkan dia ngomong seenak dia. Dia mulai bicara. Dia mengulang pembicaraan kemarin malam yang nggak gue dengerin. Kali ini gue dengerin dan perlahan gue mulai tahu.

So, gue mirip Triya adiknya gitu? Cuma gara-gara gue panggil Mendung? Terus sisi apa yang membuat Mendung suka sama gue? Alasan dari cerita Zen sama sekali nggak mendukung banget! Gue masih dengerin dia ngomong. Jadi Zen dulu sahabat Mendung karena Zen dulu pacarnya Triya. Dulu Mendung adalah lelaki yang baik. Bukan perokok juga bukan pecandu alkohol. Hah? Apa?! Jadi Bara juga pecandu? Astaga! Kenapa orang-orang yang gue taksir pasti punya aib kebiasaan buruk kayak gitu sih!?

Gue masih dengerin, ternyata Bara kacau karena didasari keluarganya yang kurang memperhatikan kebutuhan kasih sayang anak-anaknya dan karena Zen? Zen ngapain emang? Zen bilang karena dia salah satu alasan yang membuat Triya meninggal? Cerita pahit katanya dan dia bilang maaf, bahwa dia nggak bisa cerita secara detail. Gue juga nggak pingin tahu sih. Bukan urusan gue.

Dia bilang lagi, Bara adalah seorang yang jomblo bahkan belum pernah cium cewek. Berarti gue... gue first kiss-nya Bara gitu? Bara jomblo bukan karena nggak ada yang mau, tapi karena dia yang nggak mau sebelum dia menemukan orang yang menurut dia benar-benar membahagiakan buat dia. Zen kaget tahu Mendung cium gue, dia pikir kalau Mendung nggak main-main suka sama gue. Oh yeaaa? Kok gue nggak yakin-yakin amat.

Terus makanya Zen minta gue buat perlahan-lahan menuntun dia menjadi baik lagi. Jadi orang yang benar. Karena pada dasarnya, Mendung hanya butuh penguat dalam hidupnya, dan orang itu gue, kata Zen.

"Gimana?" tanya dia penuh harap.

Gue diam. Gue? Gimana? Ya, gimana ya? Kok gue sih? Terus gue harus menuruti apa mau Mendung supaya dia bahagia gitu? Lah, kalau mau dia aneh-aneh gimana? Orang lain, belum dekat, siapa yang tahu sih? Bukan maksud gue berburuk sangka ya. Tapi buat apa gue membahagiakan orang, kalau harga diri gue terinjak seperti contoh kelakuan Mendung kemarin yang seenak jidat itu. Ini orang juga kok seenak jidat ngomongnya. Sama aja. Dia pikir gue ini alat pemuas seseorang apa. Jelas...

"Nggak. Aku nggak mau, Kak," jawab gue tegas.

"Kenapa? Dia butuh kamu Fir... dia mencintai kamu...."

"Aku nggak mau memanjakan seseorang. Membuat dia bahagia semau dia dan aku sebagai bahagia dia, kemudian perlahan-lahan aku menuntun dia untuk berubah, tapi aku masih berperan sebagai kesenangan dia. Berarti aku membiarkan diriku cuma buat dia aja. Bukan maksud aku menuntut balas jasa, Kak. Tapi aku juga butuh bahagia. Aku suka sikap dia yang suka-suka dia aja gitu tanpa mikir apakah orang lain akan terima?

Aku bukan perempuan yang mau diapakan aja atau disuruh-suruh setiap orang entah itu laki-laki maupun perempuan dengan seenak jidat Kak. Disuruh ini mau, disuruh itu mau. Bukan! Aku punya hak untuk menolak, karena aku wanita yang mempunyai hak! Aku memiliki kehormatan dan harga diri yang harus saya jaga. Aku nggak mau harga diriku dipermainkan sesuka hati oleh lelaki. Aku bukan alat!

Kalau Kak Bara mencintai aku dan butuh aku, dia harusnya tahu apa yang aku nggak mau dari dia, terus dengan kesadaran dia sendiri dia berubah untuk menjadi orang yang benar seperti apa yang seharusnya dilakukan setiap orang. Kalau dia aja nggak punya kesadaran itu, artinya dia nggak benar-benar mencintai aku dan dia cuma suka-suka aja. Kemudian, aku cuma akan melakukan hal yang sia-sia setelah membahagiakan lelaki itu, jika kenyataannya dia nggak benar-benar mencintai aku.

Suatu hubungan yang baik adalah hubungan yang terjadi timbal balik positif. Aku maunya simbiosis mutualisme yang positif dan seimbang, Kak. Dia berbuat baik sama aku, maka aku akan berbuat baik juga sama dia."

Zen diam sebentar, kayaknya dia lagi mikir buat jawab.

"Tapi kan, dengan kamu menolong dia, artinya kamu berbuat baik?"

"Menolong apa? Bukan menolong namanya kalau dia mendapatkan kebahagiaan sementara aku biarkan harga diri aku jatuh, Kak? Tolong pikir pakai logika, Kak! Aku ada jam kuliah sehabis ini. Jadi, maaf. Aku nggak bisa melanjutkan pembicaraan dengan Kak Zen. Aku duluan," ucapku sembari meninggalkan cowok itu.

"Tapi Fir...! Firda!" panggil dia dari kejauhan.

Gue nggak mau noleh apalagi dengerin dia. Udah cukup! Keputusan tetap keputusan. Dia nggak punya hak atas itu!

Mendung ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang