Part 27

959 62 22
                                    

***

Alang baru saja ingin mengistirahatkan punggungnya karena sudah terlalu lama duduk saat tiba-tiba pintu kamar rawatnya terbuka. Alang menoleh. Cowok itu pikir, Mika kembali lagi setelah beberapa saat yang lalu berpamitan akan pergi keluar sebentar.

Tapi ternyata, bukan. Seseorang itu mendadak membuat Alang merasa kesal setengah mati. Ucapannya tadi benar-benar tidak didengarkan oleh Lexa. Shit! Umpat Alang dalam hati.

"Sayang, kamu nggak papa? Mana yang sakit?" tanya Vinna saat sudah sampai di sebelah ranjang Alang. Membuat cowok itu mengurungkan niatnya untuk berbaring.

"Ngapain ke sini?" tanya Alang dingin.

"Jenguk anak Mama dong," jawab Vina lalu meletakkan tas tangannya di meja dan duduk di kursi sebelah ranjang.

"Ayah di luar," ujar Vinna saat melihat anaknya menyipitkan matanya curiga dan memandangi pintu di belakangnya. Pernyataan Vinna membuat Alang semakin kesal. Tangan cowok itu mengepal menahan geram yang semakin menjalar ke ubun-ubunnya.

Baru saja Alang hendak menyahut, pintu kamar rawatnya kembali terbuka sebelum kembali ditutup oleh orang yang sama. Ayahnya. Arga Panjaitan. Dengan setelan kemeja, jas dan dasi yang masih tetap terlihat rapi walaupun sudah sedikit larut, laki-laki itu berjalan pelan menuju ke samping ranjang dimana anaknya tengah duduk. Disertai tatapan tegas yang semakin membuat suasana kamar rawat Alang mendadak panas.

"Kalian nggak perlu repot untuk dateng ke sini. Jangan bertingkah sok peduli begini. Sangat bukan kalian," ujar Alang dingin sambil membuang muka saat sang ayah sudah sampai di samping ranjangnya. Tanpa memandang kedua orangtuanya sama sekali.

"Memang. Kami ke sini sebentar. Hanya untuk memenuhi panggilan calon menantu," jawab Ayahnya tak kalah dingin. Membuat kepalan tangan Alang semakin mengerat, membuat buku-buku tangannya memutih. Tapi Alang tidak peduli. Bahkan sampai tangannya berdarah pun Alang tidak akan peduli.

Karena yang ia pedulikan adalah saat ucapan ayahnya menyakitinya sekali lagi. Bagaimana mungkin kalimat tajam ayahnya bisa kembali menyakitinya seperti ini? Bagaimana mungkin ayahnya sendiri benar-benar tidak peduli padanya begini? Padahal ini bukan hal baru dalam hidupnya, tapi kenapa rasanya seperti baru pertama kali? Dan hal itu yang membuat Alang membenci dirinya sendiri.

"Alang Panjaitan. Apa kamu benar-benar sedang menantangku? Setelah seenaknya ingin membatalkan perjodohan itu, sekarang kamu memilih melukai dirimu sendiri?" tanya Arga pelan sarat akan kemarahan. Nadanya diatur sedikit lebih kecil. Selain karena ini di rumah sakit, sekarang pun sudah sedikit larut jadi Arga memilih untuk tidak menimbulkan keributan yang sekiranya akan mengganggu pasien di kamar lain. Jam besuk memang sudah habis sejak beberapa jam yang lalu, tapi karena keistimewaan yang Arga punya membuatnya mudah untuk datang melihat anaknya.

"Ujian akhir tinggal di depan mata, Alang. Tapi kamu malah sibuk dengan basket yang tidak ada gunanya itu. Ku pikir kamu tau arti kalimat jangan membuat kekacauan. Jadi kita tetap akan pada skenario awal. Dan jangan bertindak bodoh dengan melukai diri sendiri lagi," ujar Arga dingin dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Menunjukkan sikap dominan yang dimilikinya.

"Supaya apa kamu begini?" tanya Arga lagi.

"Saya tidak melakukannya dengan sengaja," jawab Alang cepat. Cowok itu benar-benar tidak mengira kalau ayahnya akan berpikir bahwa ini semua hanya akal-akalannya saja.

Di samping Alang, Vinna hanya menunduk. Tidak berusaha menghentikan Arga yang semakin banyak berbicara malah semakin menambah kesakitan pada hati Alang. Tidak berusaha membuat Alang tenang, setidaknya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Walau kenyataannya tidak. Karena itu yang orang-orang lakukan kan? Berkata mengerti, padahal tidak. Berkata baik-baik saja, padahal tidak.

Alang memejamkan matanya. Menahan kesal yang meluap-luap, menahan amarah yang semakin membanjiri hatinya. Ibunya ternyata lebih bodoh dari yang Alang kira. Lebih buta akan cinta daripada dirinya. Dan lebih tuli akan pendapat tentang dirinya.

"Jangan menantangku Alang. Karena keputusanku sudah final," ujar Arga. Laki-laki itu lalu berbalik hendak meninggalkan ruangan.

"Ayah," panggil Alang setelah sekian lama. Alang lupa, kapan terakhir kali ia memanggil ayahnya dengan sebutan 'ayah'. Karena selama ini, ia hanya memanggil ayahnya dengan kata ganti 'anda'.

Arga terhenti. Bukan hanya langkahnya, tapi juga detak jantungnya yang sempat berhenti beberapa saat ketika mendengar panggilan itu dari Alang. Menyeretnya pada memori lama, pada saat dirinya terbiasa berpura-pura di depan Alang.

Arga tidak menyahut. Tapi Alang tau, ia hanya perlu mengutarakan maksudnya. "Ayah, aku mohon. Aku akan meneruskan perusahaan Ayah. Tapi nggak dengan menerima perjodohan dengan Lexa."

Arga berbalik dan melihat Alang yang tengah memandangnya dengan mata bulat dan pandangan penuh harap. Pandangan yang dulu sering meluluhkan hati Arga saat melihatnya. "Apa yang sedang coba kamu lakukan?" tanya Arga.

"Bernegoisasi," jawab Alang.

"Aku akan belajar di ekonomi bisnis. Lalu meneruskan perusahaan Ayah, mengembangkannya dengan usahaku sendiri tanpa perlu menikahi Lexa. Aku akan menemukan pasanganku sendiri nantinya. Ya ayah?"

Satu-satunya hal membuat Alang berani menebalkan mukanya untuk memohon kepada sang ayah adalah karena cintanya pada Aluna. Walau sampai saat sekarang pun, cewek itu sama sekali tidak menghubunginya. Beratus kali Alang coba telfon tapi hanya nada dering panjang atau mailbox yang diterimanya.

"Apa ini karena wanita itu?" tanya Arga. Membuat Alang menunduk. Tanpa menjawab pun, Ayahnya sudah mengetahuinya.

"Kamu berani memohon padaku hanya karena dia? Wanita yang bahkan nggak pernah mencintai kamu?" tanya Arga, semakin dingin di setiap katanya.

"Jangan Alang. Jangan mau dibodohi oleh cinta. Jangan jadi laki-laki lemah. Perusahaan tidak membutuhkan pemimpin seperti itu," lanjut Arga.

"Jangan meminta apapun padaku, ingat? Karena semakin kamu meminta semakin tidak akan ku kabulkan. Rasa senang akan membuatmu lupa pada tujuan awal. Sekali lagi jangan membantah. Atau aku akan berbuat lebih dari ini."

Dengan cepat Arga berbalik dan meninggalkan ruangan. Tanpa pamit atau usapan di kepala atau bahkan kalimat semoga lekas sembuh. Disusul Vinna yang terlebih dahulu mencium kening Alang dan membisikan kata-kata maaf dan sayang sebelum ikut pergi meninggalkan Alang.

Cowok itu mengerang kesakitan. Hatinya benar-benar terkoyak. Ia harusnya ingat, ayahnya tak pernah sekalipun mengabulkan permintaannya. Dan tadi, dengan tidak tahu malunya Alang kembali meminta. Meminta sesuatu pada ayahnya berarti mustahil.

Alang lalu memukul-mukul ranjangnya. Kesal. Dongkol. Marah. Sakit hati. Sebutkan saja semuanya, akan Alang iyakan. Cowok itu menekuk kedua kakinya dan menenggelamkan kedua wajahnya di lutut. Tanpa sadar Alang menangis di sana. Tidak bersuara tapi bahunya bergetar hebat.

Dan tanpa sadar pula, Lexa mendengar dan melihat itu semua dari balik pintu kamar rawat Alang. Ikut bersedih, ikut menangis. Saat tau bahwa salah satu alasan Alang menangis di dalam sana adalah dirinya. Saat tau bahwa Alang benar-benar tidak menginginkannya sebanyak Lexa menginginkan laki-laki itu.

***

Full of Alang hehehe. Gimana?
Pendek ya?hehehe.
Jangan lupa vomentnya ya, apa susahnya sih?hehehe.

Jatuh HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang