0+3℉

105 16 3
                                    

03:: La Diferencia


Sungguh, ini aneh. Aku yang sejak awal sangat menentang keputusan ayahku untuk pindah ke Jakarta, saat ini malah merasa tertarik pada Jakarta.

Tidak.

Bukan Jakarta. Tapi sesuatu tentang Jakarta yang aku tak tahu entah apakah itu.

Ayahku, Andika Ferdinan Christio. Ia adalah seorang polisi. Lebih tepatnya seorang Inspektur Polisi Satu. Ia sebenarnya adalah mantan Komisaris Jendral Polisi yang entah ada masalah apa ia ditahan selama 16 bulan dan diturunkan pangkatnya. Namun aku tetap bersyukur karena seharusnya ayahku ditahan lebih dari itu, sekitar 4 tahun. Yah, itu karena ditemukannya keganjalan dalam penuntutan kasus ayahku, ayahku ditahan tanpa bukti yang jelas.

Semua tentang Jakarta yang awalnya aku benci itu adalah karena ayahku. Jakartalah yang membuatnya diptahan dan turun pangkat. Setelah ia keluar dari tahanan, ia menjadi gila kerja. Ia terobsesi pada suatu kasus tak masuk akal yang dianggap oleh ayahku belum terpecahkan.

Yah, meski ayahku seperti ini, ayahku memang tetap menomer-satukan keluarganya. Ia selalu punya waktu untuk keluargaku. Itulah yang sangat aku kagumi dari ayahku.

Hari ini adalah hari pertamaku masuk ke sekolahku yang baru. SMA Gemerlap Nusantara. Pagi hari bodoh yang mengharuskanku bangun pagi setelah perjalanan yang sangat melelahkan semalam.

Datang terlambat di hari pertamaku masuk sekolah, hampir tertabrak mobil sewaktu akan menyebrang ke pintu gerbang sekolah, bertemu guru kesiswaan yang sok sibuk dengan presentasinya, dan juga bertemu dengan cowok sok kece, sok cuek, dingin, pemaksa, dan sangat irit bicara.

Ya, memang aku akui aku juga merupakan satu dari sekian banyak orang yang dingin dan irit bicara, namun aku bukan seorang pemaksa dan cuek. Meski aku irit bicara, aku selalu mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaraku-walaupun mereka mungkin merasa tidak diperhatikan karena aku jarang menoleh pada sang lawan bicara dan raut wajahku saat menatap mereka berbicara sangat tidak dapat diartikan.

Entah mengapa sejak pertama kali melihatnya, menatap mata pekatnya, mendengar suara dinginnya, aku selalu ingin banyak berkata dan berkomentar. Meski dengan kata-kata yang terbilang cukup singkat dan cuek, namun sebenarnya aku sangat penasaran pada orang itu.


-------

"Bisa ilang?" Delona tersentak dari lamunannya dan refleks menoleh mencari sang sumber suara.

"Gak"

"Di kasi air bisa?"

"Aneh lo! Ni baju basah, kotor. Kalo di bersiin pake air jadi tambah kuyub lah."

"Udah basah kali, lo kasi air lagi juga gak beda jauh basahnya, setidaknya lebih bersih."

Delona berusaha menghela napas yang memenuhi paru-parunya, "hari ini gak latihan dulu ya?"

"Gak"

"Gak apa? Besok deh, ya?"

"Gak. Latihan hari ini. Gak ada penolakan," ucap Zelion penuh penekanan dan langsung berjalan keluar melewati pintu toilet. Sambil menggerutu, Delona mengikuti Zelion keluar dari toilet.

Namun, sebelum keduanya benar-benar keluar, tiba-tiba Zelion berbalik menatap Delona dengan wajah datar dan membuat Delona ikut berhenti melangkah. Ia melepas jaketnya dan memberikannya pada Delona.

"Apaan?"

"Pake!"

"Gak."

Zelion mendesah sebal lalu kedua tangannya merentangkan kedua sisi bahu denim jacketnya lalu menyampirkannya di kedua bahu Delona.

DelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang