1+3℉

31 6 0
                                    

"Tak ada hati yang teriris, tak ada pula air yang jatuh dari mata. Bagai merpati yang menemukan pasangannya, selalu bersama tanpa terpikir untuk mencari yang lain."

***

13:: Let's Begin

"Kita uji kemampuan lo di pelajaran pertama ini."

Suara itu merambat bagai gema di ruangan 10×10 meter itu. Besar, bahkan sangat besar untuk disinggahi oleh dua orang tanpa perabotan apapun. Hanya ada satu meja bundar dengan dua kursi di tengah ruangan itu.

Kontras dengan ruangan itu, diatas meja bundar berwarna hitam itu terdapat beragam alat-alat elektronik dan satu buah papan ujian beserta kertasnya.

Laki-laki berumur delapan belas tahun itu mengambil papan ujian yang ada di atas meja dan mengulurkannya pada murid didikannya.

"Baru aja gue masuk, dan lo suruh gue ujian? Gue bahkan belum tau siapa lo dan apa yang bakal kita lakuin sekarang." Gadis itu membantah dengan kesal. Keningnya berkerut heran, tidak mengerti maksud laki-laki berhoodie putih itu.

"Okay. Gue Neptune, tutor lo selama misi ini berlangsung. Gue yang bakal jadi tutor sekaligus partner lo, jadi gue tuntut kesetiaan dan keprofesionalan lo," laki laki itu memperkenalkan dirinya tanpa menatap ke arah lawan bicaranya. Seolah kertas di hadapannya lebih menarik dari bidadari tanpa sayap di hadapannya.

"Gue Lo—" Belum gadis itu menyelesaikan kalimatnya, laki-laki itu memotong dengan ketus.

"Udah tau. Sekarang mulai ujiannya. Gue benci orang cerewet."

Okay, gadis itu mulai benci lelaki di hadapannya.

"For your information, i hate you firstly." Gadis itu menerima kertas yang diulurkan kepadanya dan menduduki salah satu kursi di dekatnya. Sedangkan lelaki tadi—yang namanya adalah Neptune atau lebih tepatnya Neptunus—duduk di hadapan gadis itu dengan perantaraan meja hitam dan memasang headphone yang sedari tadi bertengger di lehernya.

Beberapa menit berlalu, Neptune melepas headphonenya dan menatap gadis di hadapannya. Bahkan seorang iblis pun tidak akan bisa mendustakan kecantikan alami gadis itu. Tanpa seolespun make-up gadis itu sudah nampak cantik dengan wajah polosnya.

"Delona Janetta, lo udah selesai? Lama amat sih?" Neptune mengitari meja itu dan menghampiri gadis dihadapannya.

"Bahkan dari tadi gue udah selesai. Tapi gue ragu, gue cek berkali-kali, kayaknya gue salah tempat deh. Gue bukan mau cek psikologis."

"Itu cuma ujian awal. Syarat lo bisa gabung di sini. Dan setelah gue lihat hasilnya—" Pria itu terdiam sejenak, meneliti hasil ujian Lona, lalu melanjutkan, "lo  setidaknya udah dapet enam dari sepuluh poin yang ada. Dan itu udah cukup."

"Jadi? Kapan mulainya?" tanya Delona yang sudah tidak sabar dengan materi yang akan diterimanya hari ini.

"Kita mulai sekarang." Hening sejenak. "Gue penasaran apa alasan lo mau gabung sama kita," tanya Neptune sambing melayangkan tatapannya menelanjangi Lona.

"Alasan? First, itu karena Ayah yang nyuruh gue." Lona menelan ludahnya dan pendangannya melunak. "And the second reason, gue penasaran apa yang sebenernya terjadi. Dan kenapa seolah gue dipaksa ngasih penjelasan yang gue bahkan gak ngerti apa-apa," lirihnya.

Right, sekarang Lona sudah mulai membuka dirinya. Ia sudah meninggalkan kesan dingin dan pendiam yang selama ini melapisi kehidupannya. Toh, orang yang menjadi alasannya sudah ia temukan.

"Yaudah. Sekarang lo pake ini." Naptume memakaikan headphone berwarna putih pada kepala Lona. "Gue mau kasih lo simulasi buat langkah pertama kita," lanjutnya setelah sebuah layar terpampang pada dinding putih itu.

DelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang