Oktober.
Setengah tahun setelah kecelakaan. Tiga bulan setelah aku sadar dari koma. Tidak seperti hilangnya yang tiba-tiba, kesadaranku kembali perlahan-lahan. Perlu sebulan penuh bagiku untuk ingat siapa aku, sambil pelan-pelan mengembalikan kemampuanku berbicara. Sebulan lagi untuk melatih otot-otot tubuhku; mengangkat tangan, memegang, menggerakkan kaki, duduk, berjalan. Lalu sebulan terakhir, mengembalikan kesehatan umum tubuhku.
Suster Mira dan Suster Asih memang berperan besar dalam pemulihanku. Tapi aku ingat benar suara-suara yang menyalakan kesadaranku sejak awal. Siapa mereka? Di mana mereka?
Pertanyaanku tak terjawab hingga kemarin. Dokter Desti memberiku sebuah buku harian. Milik keponakannya. Bodohnya aku, tidak menanyakan namanya. Tiga bulan terakhir catatannya berisi waktuku yang hilang dalam koma.
Aku tersentuh oleh detail keadaanku yang digambarkan setiap hari. Aku terharu dengan usahanya membangunkanku, keyakinannya bahwa aku akan sadar. Aku menangis membaca penderitaannya sendiri yang coba dilupakannya. Terbukti, tak banyak catatan tentang kanker yang diderita dan kemoterapi yang dijalaninya. Hanya secara periodik ada halaman-halaman yang melulu berisi tulisan cakar ayam. Terlalu sakit untuk menulis dengan jelas. Tapi kemudian aku dibuatnya tersenyum dengan kutipan-kutipan dari Anne of Green Gables.
Aku juga kagum bagaimana dia memaknai setiap kutipan itu dalam kesehariannya. Apa pun yang ditulisnya bergaung di otakku dalam bentuk suara yang akrab. Dialah pemilik suara pertama dan utama.
Aku sering mendengarnya. Sungguh, aku tak bisa meletakkan buku harian itu. Seakan memegang tangan seorang sahabat yang namanya belum lagi kuketahui.
Tanpa pikir panjang, aku bersiap-siap pergi ke rumah sakit. Ini akan menjadi acara keluarku yang pertama sejak pulih. Tunggulah sahabat, aku akan datang.
Suster Mira muncul di pintu. Senyumnya mengembang. "Aih, sudah rapi! Aku tidak tahu kapan kalian bikin janji, tapi kedatangannya tepat waktu. Enak dipandang, melenyapkan kebosanan. Jadi pengin muda lagi."
"Suster ngomong apa sih?" Aku menyisir rambutku yang sudah panjang lagi. Mematut diri di kaca. Mengembalikan 12 kg? Tak masalah. Selera makanku bagus sekali akhir-akhir ini.
"Pangeranmu. Tuh, sudah menunggu di bawah. Ke mana saja dia selama ini? Seharusnya dia muncul lebih awal untuk menciummu bangun!"
Aku berbalik menatapnya. Jelas bukan sopir Mami yang disebutnya pangeran. "Siapa?"
"Aldrin. Dia membawa kotak kado, sayangnya tidak dibungkus cantik."
"Aldrin?" Nama itu meretas ingatanku lebih luas. Pemilik suara yang satu lagi. Yang jernih melantunkan ayat-ayat suci. Yang terbata-bata membacakan puisi. Yang menyembunyikan tangis dalam doa. Kuingat betapa paniknya aku di dalam kotak kaca mencegahnya pergi.
Detik berikutnya, aku sudah menabrak Suster Mira yang menghalangi jalan. Aku turun tangga setengah berlari. Lalu berhenti begitu saja di kaki tangga. Akhirnya aku berhadapan langsung dengannya.
Aldrin segera berdiri. Gugup menyisir rambut yang jatuh ke mata. Hidung, bibir, dan dagunya membentuk kurva-kurva elok. Sosok nyata yang mengingatkan aku pada karakter anime. Kudengar dia berdeham. Aku tersipu, tak berani memandang wajahnya lagi. Begitu akrab namun begitu asing.
"Kamu lebih sehat dari yang kubayangkan. Tante Desti kadang lupa bahasa awam untuk menggambarkan keadaan seseorang," katanya.
Tak salah lagi, suara yang menembus kotak kacaku. "Ya, aku sudah pulih benar. Terima kasih."
"Rumahmu sepi ...." Aldrin mencari-cari bahan pembicaraan.
Aku hanya mendesah. Mau bilang apa? Kecelakaan dan komaku tidak mengubah apa-apa. Papi masih berangasan, Mami masih tak peduli. Bahagia tetap tak kudapat dari mereka.
Aldrin mengangguk mengerti, dan buru-buru menunjuk kardus di lantai. "Oh ya, Luna memintaku membawakan ini untukmu. Maaf, baru sekarang. Susah cari waktu yang tepat."
"Luna?" suaraku tercekat haru. Luna namanya, adiknya, sahabatku. Aku menerima kardus itu dan melihat-lihat isinya. Ada foto dalam bingkai kayu. Luna mengenakan seragam putih abu-abu, rambutnya dikuncir banyak dengan pita aneka warna. Manis berlesung pipit, cemerlang dengan mata berbinar. Lebih mungil dari yang kubayangkan. Lalu ada Al-Quran dan buku doa. Beberapa novel, di antaranya Anne of Green Gables yang kucel dan The Five People You Meet in Heaven. Terakhir buku kumpulan puisi karya Luna. Tulisan tangannya langsung kukenali dari buku harian.
Tanganku bergetar. Setelah diarinya, kenapa harta karun ini tidak berada di tangan pemiliknya juga? Kenapa untukku? Aku mendongak dan bertemu mata duka Aldrin. Kesadaran itu menghantamku hingga terhuyung.
Aku terduduk di lantai. "Kapan?" bisikku. Air mata mengaburkan pandanganku.
"Dua bulan lalu. Sambil tersenyum puas karena buku kehidupannya sangat istimewa dan happy ending. Bergembiralah untuknya, Deni." Ragu-ragu Aldrin mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
Aku menyambutnya. Dituntunnya aku duduk di sofa. Aku mengusap air mata. "Luna tahu aku sudah sadar waktu itu?"
"Tentu. Dia bahagia sekali. Dia bertahan memang untuk melihatmu bangkit."
"Aku tak mau mengecewakan Luna."
"Aku tahu. Seperti Luna, kamu seorang pejuang. Bisa bangun dari koma, pasti bisa mengatasi masalah apa pun," sahut Aldrin bersemangat.
"Tapi ada Luna waktu itu."
Aldrin terdiam. Rasa kehilangan telah menyedot udara di sekitar kami dan menggantinya dengan kehampaan. Menyakitkan buatku. Meresahkan buat Aldrin.
Setelah beberapa kali membuka mulut tanpa kata terucapkan, Aldrin berbisik, "Kamu masih punya aku."
Aku memandangnya tak percaya. Tanpa Luna yang memintanya mendampingiku, apa lagi yang akan menahannya di sini?
Aldrin keliru menafsirkan diamku. Dia menggeleng-geleng. "Kamu tidak membutuhkan aku." Dia mendesah dan bangkit.
Aku melompat ke depannya. Senang bisa menahannya dengan efektif kali ini. "Jangan pergi, Aldrin." Aku mengangguk kuat-kuat untuk meyakinkannya.
Aldrin memejamkan mata. Ketika dia membukanya lagi, matanya basah. Tapi dia tersenyum. Dengan tenang dia menunduk, menyelidik jauh ke dalam mataku. "Luna benar, matamu indah."
Aku jadi teringat bait terakhir puisi Luna tentang mataku.
Debu, asap, embun, plester ... berkaca pada bening matamu,
Apa makna kalimat yang belum selesai itu?
Aldrin tertawa kecil. Ah, dia mengingat bait yang sama. Jelas tidak paham juga.
Aku tersenyum. Setelah koma, Luna, kamu tahu kelanjutannya.
END
KAMU SEDANG MEMBACA
Setelah Koma (Complete)
Teen FictionMenabrak jembatan, mengambang sepersekian detik di udara, lalu terempas masuk sungai, dan menjadi berita kecil di koran-koran. Kupikir, tamat sudah riwayatku. Tapi dua suara itu menarikku kembali. Untuk apa? Ilustrasi cover oleh Yoshinori Kobayashi