Bab 3 - Sungguh Malangnya

169 12 14
                                    

Pagi ini dengan semangat empat lima paling membara membahana aku bangun pagi. Setelah melaksanakan kewajiban kepada Tuhan, aku segera membawa diriku memasuki kamar mandi. Mandi pagi. Hal yang tidak pernah kulakukan semenjak aku menganggur. Tapi pagi ini beda. Aku dan Feby akan melakukan wawancara di salah satu perusahaan kontraktor.

"Tumbenan pagi-pagi udah mandi. Enoy mau kemana? " tanya kak Rini begitu aku keluar dari kamar mandi.

"Wawancara kakakku sayang," jawabku yang langsung menyambar sandwich yang baru saja ia buat.

"Widih... Akhirnya adikku nggak nganggur lagi. Bisa nraktir kakaknya pas awal bulan."

"Kerja aja belum udah dipalak aja," Kak Rini tertawa puas melihatku kesal. Dasar, merusak mood ku saja.

Selesai sarapan yang ala kadarnya, aku berangkat dengan Feby menggunakan motor. Tempat nya lumayan jauh. Di daerah Fatmawati.

"Feb, Lo beneran tau tempatnya nggak sih?" ucapku dengan kesal. Ini sudah ketiga kalinya aku dan Feby memutari daerah ini.

"Bener kok, Len. Nih di gugel maps juga bilang gitu," ucapnya sambil menyodorkan ponselnya kearahku.

Jadi ceritanya, Feby dapat info lowongan kerja dari koran. Disana tertulis keterangan walk in interview. Jadi, kami akan langsung diwawancara pada saat itu juga. Tapi sudah satu jam lamanya untuk memutari area ini, perusahaan yang sedang aku dan Feby cari tak kunjung ketemu.

Karena terlalu fokus melihat kiri dan kanan aku tidak terlalu memperhatikan jalanan yang ada didepanku. Hingga akhirnya,

Brakkk...

Duh Gusti, pantatku. Aku melihat Feby jatuh tak jauh dari tempatku. Dia langsung berdiri dan membantuku yang saat itu tertindih motor yang sedang kukendarai.

Seseorang keluar dari mobil Honda Civic mengenakan kaca mata hitam yang bertengger dihidungnya. Tampan. Setidaknya rasa sakitku saat ini sedikit teralihkan. Dia membuka kaca matanya,

"Lo punya mata nggak sih? Kalau naik motor itu lihat ke depan. Lihat nih gara-gara Lo mobil gue jadi lecet." Nggak jadi ganteng deh. Percuma wajah bak dewa yunani, tapi mulut lemes nya kayak saipul jamal. (nggak boleh sebut merk, ntar bisa kecyduk)

"Heh mas, saya juga pakai mata saya. Cuman tadi mata saya lagi kepakai buat liat kiri kanan. Bukan liat depan. Lagian masnya juga salah. Kenapa tiba-tiba ada didepan saya?"

"Lah, kok Lo jadi nyalahin gue. Jelas-jelas yang nabrak gue itu elo. Gue nggak mau tau, lo harus ganti rugi." Aku menaikkan sebelah alisku.

"Enak aja. Mas nggak liat nih saya juga terluka akibat tragedi ini."

"Itukan juga karena salah lo yang ga fokus! Pokoknya gue minta ganti rugi!"

Feby sama sekali tak membantu. Dia hanya diam memperhatikan kami. Sialan nih anak, giliran gue susah aja dia diem.

"Oke... Saya ganti rugi. Kita bawa mobil masnya ke bengkel sekarang." Dia mengangguk lalu masuk kembali kedalam mobilnya.

Feby menghampiri ku, menanyakan bagaimana keadaanku. Tentu saja aku bilang aku baik-baik saja. Jujur saja, aku juga merasa bersalah pada Feby karena menyebabkan dia terluka.

Pria tadi turun dari mobilnya saat aku hendak naik keatas motorku.

"Lo ikut gue. Motor lo biar temen lo yang bawa. Gue takut lo kabur," Aku melebarkan mataku menatapnya. Apa dia bilang? Kabur? Hel to the lo, gue emang cewek gila, absurd, dan semua hal yang temen gue bilang. Tapi gue bukan orang yang lepas dari tanggung jawab.

Karena tak mau ada  pertumpahan darah disini, aku memutuskan untuk ikut bersamanya. Sedangkan Feby aku beri tugas untuk pulang kerumahku dan memberi tahu kakak-kakakku. Walaupun aku tau Kak Rini tak akan segan untuk mengulitiku hidup-hidup saat tau aku menabrak orang.

****

"Nama Lo siapa?" suara si Mas yang sedang duduk di kursi kemudi memecahkan keheningan. Aku hanya memicingkan mataku menatapnya.

"Gue takut aja ntar tiba-tiba aja lo kabur. Kan nggak lucu gue lapor ke kantor polisi tapi ga tau nama orang yang mau gue laporin," lanjutnya. Aku memutar bola mataku malas.

Mana mungkin aku kabur kalau saat ini aku tengah duduk didalam mobilnya. "Bengkelnya masih jauh?" ucapku menghiraukan pertanyaannya.

"Hmm..." kemudian kembali hening.

"Nama gue Rian," ucapnya. Aku hanya meliriknya sekilas kemudian kembali menghadap kedepan.

"Lo perlu kedokter nggak?" ucapnya lagi.

"Nggak perlu. Bengkel nya dimana sih? Jauh amat," dia hanya terkekeh mendengar keluhanku.

"Rumah lo dimana?" aku menyipitkan mataku. "Yakali aja gue masih ada perlu ama lo menyangkut masalah mobil."

"Tenang aja. Gue nggak bakal kabur kok!!" ucapku dengan menekankan setiap kata.

Kami telah tiba di bengkel mobil. Mobil bagian depan mas menyebalkan itu memang terlihat peyok. Aku hanya memijit pelipisku mengetahui berapa jumlah uang yang harus aku keluarkan untuk memperbaiki mobil ini.

Rian sedang mengurus prosedur bengkel agar mobilnya segera diperbaiki. Seperti masuk rumah sakit aja. Batinku.

Aku memilih duduk dikursi tunggu dan memainkan salah satu game yang ada diponselku. Ini adalah salah satu cara terampuh untuk menghilangkan stress. Sampai suara seorang yang kukenal mengintrupsiku.

"Len, kamu nggakpapa kan?" syukurlah. Bukan Kak Rini yang datang. Tapi kak Nova. Aku hanya mengangguk dan mulai menceritakan kronologi kejadian.

Sebenarnya aku masih mengelak bahwa kecelakaan ini bukan salahku. Melainkan salah si mas juga. Tapi kalau sampai si mas sialan itu membawa masalah ini ke kantor polisi, pasti aku yang akan bersalah. Aku tidak punya sim. Dan itu yang membuatku pasrah juga saat diminta untuk ganti rugi tadi.

Kak Nova membelikanku air minum. Feby juga tidak ikut bersamanya. Dia bilang, kaki Feby sakit dan meminta izin untuk tidak ikut bersama kak Nova.

"Liana..." kami menoleh kesumber suara. Rian menatap kak Nova dengan terkejut. Sedang kak Nova juga terlihat kaget melihat Rian.

"Aria..."

Tak ada yang berkata lagi setelah itu. Hanya saling diam dan menatap. Aku melihat kearah Kak Nova yang menatap Rian dengan tatapan Rindu dan juga sakit. Sedang Rian nampak begitu bahagia, terlihat dari senyum yang muncul pada wajah.

***tbc***

Lena~15 September 2017

(Fake) Friend ForeverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang