GemintangLewat tengah malam akhirnya Cinta -- anak Pak Badai dan Kak Bulan, mampu melewati masa kritisnya. Semua menghembuskan nafas lega dan mengucapkan kata syukur ketika memperoleh konfirmasi berita baik tersebut dari dokter. Selanjutnya, satu per satu dari kami yang sejak tadi menunggu di area koridor rumah sakit, dekat ruang ICU, pamit pulang. Hanya Pak Badai, Kak Bulan, dan orangtuanya yang masih tinggal.
Aku diantarkan Pak Jagad ke kostan, sebagaimana Angi diantarkan Pak Sam.
Selama dalam perjalanan, Pak Jagad membisu. Sikapnya sungguh membingungkan.
Tadi sesaat setelah aku menulis pesan pada J.A. Gad via goodreards, bukannya balasan yang aku dapat. Malahan, Pak Jagad tiba-tiba mendatangi aku yang sedang berdiri di antara Mentari, Pelangi, Teh Caca, dan Mba Rani.
"Gemi," katanya saat itu. Membuatku keget sambil mengalihkan pandangan dari layar HP yang tengah kugenggam. Seketika pembicaraan di antara teman-teman di sekelilingku terhenti. Digantikan, pandangan bingung menatap aura wajah Pak Jagad.
Kaku. Serius, bahkan... marah?
Umm...
Marah?
Kenapa Pak Jagad marah?
Sama siapa? Aku?
Glek.
Memang salah aku apa, yah?
"Umm... Pak Jagad?" balasku dengan bingung.
"Come here," perintahnya dengan dingin, sambil menggerakkan telunjuknya, menggesturkan aku untuk mengikuti keinginan beliau.
Aku melipat bibir lalu mengangguk perlahan. Dengan bingung, aku menuruti perintahnya. Pak Jagad membalikkan badan lalu berjalan menyusuri koridor meninggalkan yang lainnya. Aku mengikuti dari belakang.
Selangkah meninggalkan koridor, sebelum memasuki area unit perawat lantai ini, Pak Jagad membalikkan badannya hingga berhadapan denganku, lalu memaksaku berjalan mundur hingga punggung menyentuh dinding.
Pak Jagad mengunci ragaku, sebelum membuka mulut untuk bertanya perihal gelagat tak wajar ini, beliau terlebih dulu mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Untuk sesaat kupikir, Pak Jagad hendak menciumku.
Glek.
Namun...
Sebelum bibirnya sempat menyentuh bibirku, ia beralih menuju telingaku.
"Stop worrying yourself, sweetheart... I'm okay," bisiknya lembut, sebelum mengecup singkat telingaku.
Lalu...
Pak Jagad pergi meninggalkanku begitu saja, kembali ke koridor area ICU tadi.
Aku masih mematung dengan mata membelalak, tubuh bergetar.
Tuhan.
Tuhan.
Tuhan.
Ta-tadi...
Pak Jagad mengecup telinga aku kan? Aku tidak salah merasa kan?
Itu... itu... tadi... kecupan?
Cukup lama aku berdiri terus dalam kebingungan. Sampai akhirnya aku ingat lagi untuk bernafas, lalu mampu mengumpulkan tenaga melangkah mencari sebuah area yang mampu memberiku sedikit privasi.
Toilet.
Di depan kaca westafel aku menatap wajah basah sehabis terbasuh air keran. Kuambil lagi segenggam air untuk membasahi ubun-ubun, berharap kebingungan akan sirna teriring basuhan air.
Ada apa ini?
Kenapa Pak Jagad tiba-tiba bersikap aneh?
Aku mengingat lagi...
Terus berusaha mengingat.
Umm...
Keanehan itu dimulai di kafe Khatulistiwa, sejak Pak Sam datang, lalu tak lama kemudian disusul Pelangi. Kami ngobrol ini dan itu, lalu dering HP kedua Khatulistiwa bersaudara terdengar. Masing-masing mendapatkan telepon, informasi seputar kondisi Cinta. Nah, disitulah perubahan sikap Pak Jagad dimulai.
Jadi posesif.
Iya kan, berawal dari situ?
Nah, pertanyaannya...
Kenapa?
Saat ini...
Duduk di sebelah kursi kemudi, aku dan Pak Jagad duduk dalam keheningan. Sikapnya dingin, berjarak, tapi aura posesifnya tetap terasa.
"Sudah sampai, Gemi. Ini kan kostan kamu?" tanya Pak Jagad membuyarkan relung pikirku yang semrawut.
"Umm... iya, Pak. Itu, Pelangi lagi dadah-dadahan sama Pak Sam. Aku kan satu kost sama Angi," terangku setelah mengangguk.
Pak Jagad mengangguk lalu turun dari mobilnya. Keningku berkerut, lalu ikut turun.
Kenapa Pak Jagad ikut-ikutan turun dari mobil, sih?
Aku berjalan mendekati Pak Jagad yang tengah melambaikan tangannya ringan ke arah Pak Sam yang membunyikan klakson mobil untuknya sebelum pergi meninggalkan kami.
"Pak Jagad, Gemi," kata Pelangi melambai ke arah kami.
Aku membalas lambaiannya.
"Aku langsung ke atas, ya?" ucapnya, pamit.
"Oke, Angi... selamat malam," jawab Pak Jagad.
Angi tersenyum lalu mengangguk, kemudian menaiki tangga menuju kamarnya.
"Pak Jagad, terima kasih yah, udah anterin saya," kataku berusaha cair, melawan kecanggungan di antara kami.
Pak Jagad membalikkan tubuhnya hingga kami berhadapan. Matanya menatap mataku, kemudian mempelajari raut wajahku, seolah ingin mengerti sesuatu.
Bibirnya lalu dilipat, kepalanya menggeleng.
"You're so oblivion to the obvious," gumamnya dengan nada kecewa, sebelum meninggalkanku untuk memasuki mobilnya.
Aku masih terus berdiri dalam kebingungan. Mencoba mengerti maksud dari kalimat Pak Jagad.
Apa?
Kenapa?
Keningku berkerut semakin dalam, berupaya keras mencari titik terang. Pak Jagad mulai mengemudikan mobilnya perlahan menjauhi halaman kostanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jagad #2 Unstoppable Love Series
RomanceWarning: this is teaser version Hidup di dunia fiksi, itu pilihanku. Aku bahagia di dalamnya. Titik. Tak usahlah aku bermimpi menemukan seseorang di kehidupan ini. Bahagia sendiri, itu pilihanku. Aku. Gemintang. Ini adalah kisahku...