Jagad
Suasana di koridor rumah sakit sore ini begitu kelabu. Tadi Bang Badai bergegas membawa Cinta dalam pangkuannya ke UGD. Keponakanku itu terlihat lemah, tak berdaya. Aku dan yang lainnya yang sudah sejak tadi menunggu di halaman UGD, hanya bisa melihat dan mengikuti prosedur yang berlaku di sini.
Kak Bulan terlihat pucat, matanya tak henti meneteskan air mata. Mas Asa berusaha terlihat kuat untuk keduanya. Bersama dengan Raya, mereka cekatan mengurus proses administrasi. Tim medis tak kalah tanggap, dengan cepat mengurus Cinta, memeriksanya dengan seksama, sebelum memutuskan untuk memasukkannya ke ICU.
Saat ini, kami semua berdiri menunggu apa pun yang akan terjadi. Sahabat-sahabat Bang Badai satu per satu berdatangan dengan para istri mereka, disusul Mas Rama dan Mbak Rani, istrinya. Mereka adalah saudara angkat Bang Badai.
Aku belum menceritakan pada Gemi tentang identitasku sebagai J.A. Gad. Kondisi saat ini terasa belum tepat. Butuh ketenangan, dan momen yang manis untuk mengutarakan segala sesuatunya. Bukan seperti ini, saat keluargaku dirundung awan kelabu.
Aku tahu Gemintang bingung. Tadi di mobil, dia membisu. Sikapnya canggung. Tak mengerti, kenapa aku begitu posesifnya.
Umm...
Aku menghela nafas melihat Gemi yang sedang berkumpul dengan Mbak Rani, Kak Cahaya, Mentari, dan Pelangi di ujung koridor ini. Mereka saling berbicara, entah apa. Kuterka perihal kondisi Cinta.
Raya berdiri di antara aku dan Sam, di seberang pintu ICU. Adik kandungku ini terlihat sedih. Jari-jari lentiknya sibuk mengusapkan tisu ke mata basahnya.
"Sssttt... udah, Raya... kita percayakan sama tim dokter," bisik Sam pada Raya.
Adik perempuan kami satu-satunya itu hanya mengangguk, tapi terus terisak.
Di ujung koridor lainnya, berkumpul Mas Rama, Bang Rio, dan Bang Dewa. Mas Asa, tadi pamit. Katanya dapat telepon dari Bunda Indah, Nana muntah-muntah.
Bang Badai dan Kak Bulan menunggui Cinta di dalam.
Dalam gelisah, kami terus menunggu.
Sampai...
Pintu ICU dibuka dari dalam. Ke luarlah Bang Badai. Matanya kosong, langkahnya tak pasti bagai orang berjiwa hilang.
"Bang, gimana Cinta?" tanya Raya memburu Bang Badai sedetik setelah kakak kami itu ke luar dari pintu ICU.
Bang Badai menatap Raya dalam tatapan nanar, mengusap kepala adik perempuan kami layaknya memperlakukan anak kecil. Lalu Bang Badai menatap aku dan Sam sekilas sebelum meninggalkan kami, menuju Mas Rama, dan kedua sahabatnya berada.
Di ujung koridor sana, mereka sudah menunggu.
Aku melihat Mas Rama merangkul Bang Badai, membawanya berbicara di pojokan itu, di kelilingi Bang Rio dan Bang Dewa.
Kedua tangan Mas Rama berada di masing-masing pundak Bang Badai. Menepuk-nepuknya sambil berbicara pelan, entah apa.
Bang Badai terlihat mendengar, bibirnya dilipat, matanya terlihat memerah. Lalu, Mas Rama merangkul Bang Badai, menggiringnya untuk beranjak meninggalkan koridor ini, diikuti Bang Dewa dan Bang Rio, entah ke mana.
"Mau ke mana mereka?" tanya Raya dengan nada berbisik.
Aku menggelengkan kepala.
"Entahlah..."
Aku kemudian mengecup kening Raya, sebelum berjalan ke ujung koridor kosong, tempat Bang Badai dan para saudara angkatnya tadi berdiri.
Menyepi, aku berdiri.
Di saat seperti ini, aku merasa tak berdaya.
Bang Badai, adalah sosok batu kuat tempat kami bersandar. Kapan pun kami butuh bantuan, tak perlu meminta dua kali. Sikap tak pernah kenal takutnya akan dengan senang hati melakukan apa saja untuk menolong kami.
Sebaliknya, di saat dia lemah... kami adik-adik seayahnya, nyaris tak memiliki kekuatan untuk membalas budinya, menjadi sandaran untuknya.
Tidak...
Posisi itu, selalu ditempati oleh Mas Rama, Bang Dewa, dan Bang Rio.
Meski benci mengakui...
Kadang aku iri.
Aku, Mas Asa, Sam, dan Raya adalah saudara seayah. Kami ini dianggap Bang Badai sebagai sebuah tanggung jawab. Seperti yang selalu di dogma almarhum Bapak, setiap kali kami bertemu.
"Ini adik-adikmu, Badai. Mereka tanggung jawab kamu. Kelak kamu adalah pengganti Bapak," begitu katanya setiap kali kami berkumpul.
Bang Badai selalu melakukan tugasnya sebagai seorang kakak sebaik-baiknya, sesuai amanat Bapak.
Sekali lagi, kami ini adalah tanggung jawabnya. Namun, sosok saudara yang sesungguhnya bagi Bang Badai adalah Bang Rio, Bang Dewa, dan Mas Rama.
Hanya mereka yang mampu masuk ke suatu tempat di hati Bang Badai, yang kami adik-adiknya tak pernah sanggup menggapai.
Notifikasi HP-ku terdengar.
Kurogoh HP dari saku belakang celana jeans.
Pesan dari Mrs. Gad, melalui goodreads.
Aku menghela nafas sambil menggelengkan kepala menatap di ujung koridor sana, Gemi terlihat memegang dan menatap layar HP-nya. Lalu, aku membuka dan membaca isi pesannya.
Mr. Gad,
Where are you?
I'm at hospital now. Dharmais Hospital.
I was waiting for you at the Khatulistiwa's Bros. I didn't see you.
Please tell me that you're okay.
Are you okay?
I'm worry.
With Love,
Mrs. Gad
KAMU SEDANG MEMBACA
Jagad #2 Unstoppable Love Series
RomanceWarning: this is teaser version Hidup di dunia fiksi, itu pilihanku. Aku bahagia di dalamnya. Titik. Tak usahlah aku bermimpi menemukan seseorang di kehidupan ini. Bahagia sendiri, itu pilihanku. Aku. Gemintang. Ini adalah kisahku...