BAB 6

33.5K 2.5K 164
                                    

Gabut day

Senyaman-nyamanya kafe berbintang lima GTA dimanapun berada, kantin kampus adalah tempat paling nyaman untuk beristirahat bagi Nurman. Apalagi nongkrong di tempat yang mereka sebut kafe-in aja, warung sederhana milik Bu Ema ini mereka nobatkan menjadi warung terenak se kampus sejak-kemarin. Meski hanya baru sehari kemarin mereka nongkrong di warung milik Bu Ema ini, namun mereka merasakan keramahan dan kenyamanan dari pelayanan Bu Ema. Apalagi Bu Ema bisa bahasa sunda yang membuat mereka merasa sedang ada di kampung halamnnya. Mereka jadi teringat ketika masa-masa SMA yang selalu berkumpul di warung alhamdulilah milik mang Uhe. Kini Bu Ema menjadi korban selanjutnya pemilik warung yang siap-siap dibuat pusing oleh mereka. Nurman kemudian duduk di kursi depan warung Bu Ema.

"Bu teh manis dingin ya, tapi jangan pake air anget," pesan Nurman.

"Angger, sok ngalieurkeun maneh mah ... ontohod dasar" Yang artinya, 'Kamu mah selalu membuat pusing, dasar'.

Menurut Nurman setelah kemarin diteliti selama satu jam, ternyata Bu Ema adalah ibu kantin kampus yang berasal dari kerajaan Padjajaran, di kirim ke Jakarta karena kekurangan ibu kantin di kampus ini sejak jaman VOC. Semua itu Nurman simpulkan karena Bu Ema yang bercerita jika sudah sangat lama dia dagang di kampus ini.

"Tumben, kemana anu lainnya?" tanya Bu Ema setelah melirik kanan dan kiri penuh dengan pohon cemara—nggak bukan itu. Tetapi setelah melihat kanan kirinya tidak ada dua orang aneh lagi yang seperti biasanya.

Anu=yang

Karena pertemuan pertama Bu Ema dengan Nurman, dia didamping dua orang sahabatnya, Samsuri dan Udin. Hanya untuk hari ini kedua temannya sedang ada di jalan yang benar. Meninggalkan sejenak aliran hidup Nurman yang sesat.

"Nggak tahu, aku nggak ngurusin anak orang, Bu. Ngurus E-KTP aja nggak kelar-kelar," curhat Nurman.

"Euuhhhh tong aneh, apan uangna di korupsi. Coba eta uang nu dikorupsi di beliin kerupuk kulit punya ibu, bisa seret tuh satu kampus." Bukannya marah karena jawaban Nurman yang asal-asalan, Bu Ema malah ikut-ikutan mengkritik masalah ekonomi Negara.

"Iya beliin teh manisnya juga dong, Bu. Ah, itu mah Ibu aja kurang cerdas ngatur imajinasinya," cibir Nurman.

Disaat nongkrong ganteng di warung Bu Ema beberapa menit, dua yang katanya sahabat sejati itu datang—entah musibah atau kah berkah. Dengan senyum penuh kebusukan Samsuri dan Udin lekas duduk di kursi samping Nurman.

"Bu biasa ...." Pesan Udin.

"Iya, Bu. Biasa ya ...." Samsuri ikut-ikutan.

"Biasa apa?" Bu Ema yang saat itu sedang mengelap kaca hanya bisa mengerutkan dahinya.

"Iya biasa pokoknya mah, ibu kepo banget sih jadi orang," gerutu Samsuri.

Sungguh pembeli yang berfaedah, disaat ditanya apa yang dipesan dia malah mencibir Bu Ema kepo. Ibarat lagi UN soal pilihan ganda tapi malah di isi dengan jawaban essay.

"Eh udang terasi! Lu pesen apa ke si ibu? Malah bilang kepo lagi, gue gampar ganteng lu!" ketus Nurman.

"Gampar aku dong bang ...." Samsuri dengan genit bergaya cabe-cabean yang sering mangkal di SPBU.

"Idih ... kok gue mual ya. Sini gue gampar, satu kali aja. Kata pepatah mengatakan satu kali gampar dua pulau terlewati." Udin mulai mengeluarkan kata-kata nasihatnya yang dia dapat dari buku TK milik adiknya.

"Serah lu Udin serah, bumi ini milik lu seorang jadi lu bebas mau bersabda apa juga. Lu mau bilang bumi ini datar apa bulat juga bebas," ketus Nurman yang kini semakin kesal. Menghadapi satu manusia macam Samsuri saja sudah pusingnya gak kepalang, ini Udin malah ikut-ikutan gilanya.

Mahasiswa KOPLAK [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang