BAB 8

25.6K 2.3K 302
                                    

Pagi hari seperti biasanya mereka melakukan rutinitas sebagai mahasiswa biasa, pagi ini mereka sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kampus. Namun tidak dengan Nurman, yang hanya bisa berbaring di atas kasur. Badanya terasa mengigil tak karuan, suhu badanya memanas layaknya debat capres. Di atas kasur berukuran spons pencuci piring—nggak sekecil itu sih. Nurman masih berbaring dengan selimut tipisnya. Dia merasakan kepalanya sangat berat dan terasa pusing.

"Lu nggak kuliah, Man?" tanya Samsuri sembari memakai pomade minyak jelantah begitu kata Nurman karena kalau Samsuri sudah pakai pomade, gorengan aja kalah berminyak dari rambutnya.

"Gue demam nih ...," jawab Nurman sembari mengucek kedua bola matanya, disaat yang lain sudah siap untuk pergi kuliah Nurman baru saja membuka matanya.

"Lu demam panggung? Orang lu di atas kasur juga bukan dia atas panggung," jawab Samsuri seenaknya.

"Sam, untung gue lagi sakit. Kalau gue sehat gue cincang lu jadiin bahan baku bakso boraks," ketus Nurman kesal.

Dari tengah malam tadi Nurman merasakan badanya tidak normal, badanya terasa panas namun dia menggigil sepanjang malam. Sepulang dari perkemahan Nurman merasakan badannya kurang baik. Entah lebay atau memang daya tahan tubuhnya sedang lemah.

Pagi ini Nurman hanya bisa berbaring di atas kasur, tak ada tempat yang paling nyaman selain di sana untuk pagi hari ini.

"Man, lu sakit? Gue kira mahluk kayak lu nggak bisa sakit, ternyata masih ada ya penyakit mau masuk badan lu," sambung Udin sembari memakai sepatunya.

"Iya itu virus masuknya pake tiket nggak, Man?" lanjut Samsuri yang malah mencibir temannya yang sedang sakit. Sungguh teman yang baik, di saat temannya sakit mereka malah menertawakan temannya sediri.

"Gue sakit kalian masih tetep aja hina gue," ketus Nurman.

"Ya elah dasar lemah, tuh gue udah beliin obat di meja. Ada roti juga, susu kotak juga noh gue beliin. Emang kalau kita perhatian sama temen perlu di umbar, upload di medsos? Nggak usah, cukup tahu tanam dalam diri ... yang penting ada tindakan, Man," seketia Udin bersabda.

"Wahh makasih banget, kalian emang teman yang paling the best lah," sahut Nurman.

"Kayak film ya, Nurman and the best ahahah," ujar Samsuri sembari tertawa.

"Eh iya, itu gue ngutang dulu di warung Bu Inem yang di depan, nanti kalau lu udah sembuh bayar ya gue ngutang pakai nama lu. Kita pergi dulu, Man. Assalamualaikum ...." Pamit keduanya lalu pergi meninggalkan Nurman.

"DASAR KAMPRET! BELIIN SIH BELIIN TETEP AJA GUE YANG BAYAR!" ketus Nurman.

Nurman bergegas ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya, pagi ini badannya memang terasa tidak enak. Mungkin dia masuk angin sehabis kehujanan kemarin sore, padahal badannya hanya terguyur hujan sebentar sebelum dia akhirnya meneduh di halte bis. Dia merasa galau harus kuliah atau tidak dengan badannya yang tidak enak ini.

"Huaa berasa seger sih, tapi dingin," Sahut Nurman sembari membasuh wajahnya. Kemduian dia mengambil pencuci wajahnya, namun sejenak dia terdiam saat melihat telapak tangannya ada coretan pulpen. Dia mencoba mengingat-ngingat kembali apa tulisan yang ada di telapak tangannya itu, tulisanya sudah agak pudar dan susah untuk dibaca. Namun sangat jelas jika tulisan itu ber isi angka-angka.

"Ini nomer apa ya? Perasaan gue gak main togel," sahut Nurman sembari mencoba mengingat apa yang sudah dia tulis di tangannya/

"Apa ini nomer ...."

"Asataga! Kenapa gue lupa," pekik Nurman sembari menepuk jidatnya.

"Kenapa lupa gue save! Ah gara-gara nonton bola gue jadi lupa kan save nomer Endryani." Nurman segera kembali ke kamarnya, kemudian dia mencari baju di lemarinya.

Mahasiswa KOPLAK [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang