BAB 9

29.6K 2.2K 171
                                    

Nurman perlahan membuka matanya, kepalanya masih terasa berat. Nurman sejenak terdiam, sesaat dia sadar jika dia tengah berbaring di sebuah kasur kecil dengan ruangan yang tertempel banyak poster organ tubuh. Salah satunya gambar anatomi tubuh yang di temple tepat di depannya. Nurman mencoba bangkit dan perlahan bangun, dia menoleh kearah meja dan mengambil segelas air putih lalau meminumnya sejenak.

"Gue di mana ya?" sahut Nurman.

Dia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku cekannya dan membuka grup wahastapp tiga mahasiswa tamvan.

"Ada yang tahu gue di mana?" Tanya Nurman.

"Lu udah bangun, Man? Bentar gue lagi beli bubur di kantin, Udin lagi ke toilet bentar," jawab Samsuri.

"Gue Tanya, gue di mana? Puskesmas apa di bidan?" Tanya ulang Nurman.

"Lu baca aja tuh stiker yang nempel di tembok."

Nurman mencari sebuah setiker yang di temple di tembok, seperti yang katakana Samsuri. "Adanya stiker dilarang merokok, ini SPBU sam?" Tanya Nurman.

"Isss kampret! Lu ada di unit kesehatan kampus, bacaanya ada di atas pintu masuk."

"Kenapa gak lu sebutin aja sih, dari tadi."

"Biar lu mikir."

Nurman menyimpan ponselnya di meja, entah kenapa dia hari ini merasakan bingung. Dia bermimpi ke kampus lalu pingsan atau memang dia pingsan di kampus.

"Gue halusinasi, mimpi apa gimana ya? Kepala gue pusing banget, atau jangan gue hilang ingatan?" Nurman berbicara sendiri layaknya adegan sinetron seseorang yang sudah tertabrak becak hingga pingsan.

"Udah bangun lu," sahut Udin sembari duduk di kursi samping Nurman.

"Gue kenapa sih?" Tanya Nurman.

Udin mengerutkan dahinya, "lah, harusnya gue nanya lu kenpa?"

"Gue gak inget, kepala gue pusing," jawab Nurman sembari memegangi kepalanya.

"Coba lu inget-inget kenapa bisa pingsan di katin? Malu-maluin tahu, lagian lu kalau sakit diem di kosan tidur."

"Nah iya, gue inget." Nurman membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman untuk bercerita.

"Jadi gue kan bangun tidur, pas mau cuci muka tangan gue ada tulisan nomer gitu. Terus baru inget, kalau kemarin Endryani ngasih nomernya ke gue dan sialnya gue lupa nge save sampe tulisannya jadi pudar kek gini," cerita Nurman.

"Terus?"

"Ya gue buru-buru ke kampus buat nyari Endryani, eh pas di kantin gue malah ketiduran."

"Bukan ketiduran biawak, itu namanya pingsan. Lagian suruh diem aja malah ke kampus, penting banget emang nomer Endryani?"

"Penting, Din. Setelah gue ketemu dia kemarin gue merasa gila, ada sebuah beban di pundak dan pikiran di kepala yang gue juga bingung cara ngatasinnya."

"Alaaah sok-sokan," jawab Udin kecut.

"Lu belum move on?"

"Mungkin," jawab Nurman sembari menundukan kepalanya. Dia juga bingung harus gimana, dia merasa serba salah. Dia ingin memulai kembali kisahnya eperti saat SMA, namun dia bingung harus mulai dari mana.

"Lah ngapain kemarin sok gak tertarik gitu sama dia?"

"Gue kemarin masih berfikir, benarkah gue galau karena dia. Dan setelah ketemu di halte bis saat hujan, perasaan gue mengatakan ada sebuah rasa untuknya dan ada sebuah tempat di hati ini yang kosong buat dirinya."

Mahasiswa KOPLAK [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang