BAB 3

35.2K 2.9K 139
                                    

Masalalu biarlah masalalu

Hari pertama mereka kuliah sudah dihadapkan dengan masalah. Suruh siapa melawan kakak senior yang galaknya kayak Panda lagi datang bulan. Setelah menerima hukuman mengelilingi lapangan kampus, akhirnya mereka bertiga diizinkan beristriahat seperti mahasiswa baru lainnya.

Teh manis, dengan sedikit cemilan setidaknya membuat mereka rileks. Setelah berlari mengelilingi lapangan sembari berteriak 'Saya tidak akan mengulanginya lagi'.

"Ini si Adi calon ibu tiri kali ya? Jahat bener," gumam Samsuri yang masih kesal padanya.

"Tapi salah kita juga, Sam. Lah elu sih ngajak ngobrol," balas Udin.

"Gue lagi kan? Lu nggak puas tiga tahun nyalahin gue mulu?" protes Samsuri.

"Siapa suruh lu jadi cowok? Ya terima nasib aja selalu salah," lanjut Udin kemudian tertawa, sampai tidak sadar kalau dirinya sendiri adalah cowok.

"Bangke lu! Lu juga cowok woy! Dasar Latifah!" dengus Samsuri.

Ini lah rutinitas mereka selama dua tahun belakangan ini, saat mereka masih menginjak SMA. Tak pernah ada yang benar dari tiga orang ini, mungkin mereka akan benar jika suatu hidayah datang. Kapan hidayah datang? Tunggu saja ada orang tua yang menamai anaknya dengan nama hidayah datang ke kosan mereka.

"Gue pusing dengerin kalian ribut! Kalian sadar nggak sih kita ini jomblo menahun?" kata Nurman. Entah kenapa saat dia melihat beberapa orang pacaran di kampus dia baru menyadari kalu dirinya sudah terlalu lama sendiri.

"Gue? Sorry gue baru tiga tahun jomblo, Man." Samsuri menajawab dengan yakin sok iya pernah pacaran, padahal wanita khilaf mana yang mau menjadikannya pacar. Wanita yang terakhir dekat dengan Samsuri di SMA langsung mengundurkan diri dari sekolah, entah semenakutkan itukah manusia kribo itu.

"Heh polusi bumi! Lu itu belum pernah pacaran. Udah biasa kali kalau di tanya pacaran lu amnesia," dengus Udin.

"Lu juga sama, Udin! Lu terakhir PDKTan sama ayam tetangga gue, inget gak lu?" balas Samsuri tak mau kalah.

Logika seketika hilang saat dua orang ini beradu mulut, sekolah 12 tahun lamanya seperti tak ada yang mampu mereka serap. Sepertinya ilmu kehidupan lebih penting bagi mereka, daripada menguruskan rumus matematika menghitung volume kubus saat di isi air.

"Hemmmm ... sepertinya kita harus beraksi guys, gue udah bosen hidup sama batang terus. Monoton hidup gue, nanti kalau gue punya anak nggak ada yang bisa gue banggain pas muda ke anak gue nanti," lanjut Nurman yang sepertinya mulai antusias untuk mencari mangsa.

"Lu udah move on?" tanya Udin.

"Dari siapa?" tanya Nurman.

"Endryani ...." Sahut Samsuri.

"Endryani? Sejak lama gue gak tahu kabar dia," jawab Nurman.

"Endryani si pipi bakpau ...." lanjut Udin.

"Iya gue juga tahu, Udin!" dengus Nurman.

"Beneran itu si Endry!" teriak keduanya sembari menunjuk kea rah seorang wanita di belakang Nurman. Dengan refleks Nurman segera membalikan badannya.

Detak jantung Nurman berubah menjadi tak beraturan, menggebu dan sepertinya mau meledak. Nurman masih tak percaya seseorang yang sedang mengantri di depan pedagang bakso itu adalah Endryani.

Gue punya penyakit jantung? Sejak kapan? gumam Nurman dalam hatinya was-was.

"Itu Endry kan, Man?" tanya Samsuri sembari menoleh Nurman yang masih melongo tak karuan.

"Mungkin ... tapi kok dia tambah ...."

"Adi ... si ketua panitia yang galaknya macam Ibu kota," teriak Udin sebelum Nurman melanjutkan perkataanya. Dari kejauhan mereka bisa melihat jelas seseorang yang mirip seperti Endryani tengah berdiri ditemani Adi di depan lapak bakso.

"Kok sama dia?" tanya Samsuri sembari mengernyitkan dahinya.

"End—" belum sempat menyelesaikan teriakannya, mulut Samsuri segera di tutup rapat tangan Nurman.

"EMMMMMMMMM" Samsuri menggumam dan meronta-ronta untuk menjauhkan tangan Nurman dari mulutnya.

"Lu kenapa? Sam? Lu punya penyakit asma sekarang? Kok kayak sesak napas gitu?" tanya Udin melihat wajah Samsuri yang memerah akibat kesulitan bernapas.

"Loh ... si Samsu kenapa?" tanya Nurman yang belum melepaskan mulut Samsuri.

"Gue bantu doa ya, Sam. Semoga lu cepat di sembuhkan," lanjut Udin yang entah pura-pura bego atau beneran bego. Sudah jelas mulut Samsuri tertutup tangan Nurman dia malah ingin membaca doa bukan menolongnya.

"BANGGKEEEEEEEE!!!!!" akhirnya Samsuri bisa melepas tangan Nurman dari mulutnya, karena mereka berisik di kantin seketika di sekitar mereka orang-orang menatap tajam mereka bertiga layaknya pencuri jemuran yang tertangkap basah sedang mencuri celana dalam.

"Lu kalau teriak volumenya dikecilin!" teriak Nurman.

"Bodo amat, mana bau lagi tangan lu!" ketus Samsuri."Gimana kalau gue mati?" lanjutnya.

"Kita Party ... yeaaah bener nggak, Man." Sungguh jawaban yang mulia dari sahabatnya, saat ditanya bagaimana jika temannya meninggal.

"Bangke dasar! Kalian nggak punya perikemanusiaan dan perikejombloan."

"Lagian lu malah main teriak aja, gimana kalau cewek itu bukan Endryani? Tapi duplikatnya di masa depan?" lanjut Nurman.

Dengan kompak Samsuri dan Udin saling berpandangan aneh, "Duplikat? Lu kira Endryani kunci motor apa." Dengus Udin

"Siapa tahu Doraemon datang ke Indonesia dan membawa alat ajaibnya, tak sengaja dia bertemu si bakpau dan menjadikannya dua? Hayoh gimana?" tanya Nurman dengan imajinasinya yang gila.

"Gila lu!"

"Pokoknya nggak mungkin itu dia! Endryani itu pindah ke Palembang, bukan Jakarta. Kecuali kalau dia nulis suratnya typo, kalaupun typo nggak mungkin Palembang tapi PAKARTA!" gerutu Nurman.

"Lah? Dua tahun, Man! Dua tahun, bukan sehari atau sejam! Dua tahun itu lu bisa nonton film Tukang haji naik bubur siaran ulang sampe tamat!" ketus Udin yang malah emosi nggak jelas.

"Tapi gue yakin itu dia, Endryani itu punya mata sipit dan pipi yang mengembang. Itu pipi macam Negara ya? Kok berkembang," gumam Samsuri sembari memperhatikan cewek yang mereka curigai Endryani.

"Sok tahu lu, Sam!" ketus Nurman.

"Gimana kalau kita tanya saja?" kemudian Udin memberi saran.

"NO!" sungut Nurman.

"Gue yakin dua juta koma lima puluh enam ribu persen, kalau dia itu Endryani." Samsuri masih kekeh dengan pendiriannya.

"Entah lah, gue nggak percaya! Gue mau pulang ke kosan aja. Lelah gue! Mungkin itu cuman halusanusi kalian aja," ketus Nurman kemudian beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan kedua sahabatnya itu.

"Benerin jangan yak? Dia ngomong halusinasi aja belibet," gerutu Udin.

"WOOOOOY lu pergi nggak apa-apa, Man. Tapi lu kebiasaan, nggak bayar makan!" teriak Samsuri dari kejauhan, sayang Nurman sudah hilang di telan lautan manusia di kantin.

"Biarin, Sam. Orang kunci kosannya gue yang pegang. Mau masuk pake apa? alat Doraemon? Palingan bentar lagi dia balik." Udin tersenyum penuh kemenangan.

~Bersambung~


Mahasiswa KOPLAK [DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang