Baby-nya Papa

5.6K 319 14
                                        

Makan malam dirumah Joe berjalan dengan sangat lancar, keluarganya sangat antusias menyambut kehadiranku.

"Makasih buat malam ini. .aku seneng kamu bisa akrab sama keluarga aku" kata Joe sambil menggenggam tangan kananku, sementara tangan kanannya mengendalikan stir mobil.

"Kan udah kenal hampir setahun sama orang tua kamu, bukan hal yang aneh kan kalo aku bisa akrab sama mereka"

"Iya" tumben dia enggak mau mendebatku.

Tak sampai 30 menit kami sudah tiba di apartemenku. Saat aku turun dari mobilnya, diapun ikut turun dan ikut berjalan disampingku membuatku terpaksa menghentikan langkahku.

"Kamu mau kemana?" Dengan ekspresi wajah sedatar mungkin.

"Mau tidur" jawabnya santai sambil menarikku masuk ke dalam lift dan menekan angka 15.

"Kalau mau tidur, kenapa enggak pulang, kamu enggak perlu nganter aku sampai didepan pintu deh, cukup di lobby aja" ketusku. Disambut tawa renyah Joe.

" yang mau nganterin kamu sampai depan pintu tuh siapa?"

"Terus kamu ngapain ngikutin aku?"

"Ya kan mau numpang nginep sayang"

"Apaan sih Joe? Enggak usah pake sayang-sayang segala deh, dan enggak ada acara nginep-nginep di apartemen gue ya" kataku dengan semakin kesal. Ditempelkannya jari telunjuk dibibirku.

"Hust, gak boleh ngomong pake gue gue-an sama suami"

"Calon suami, belum jadi suami" tegasku.

"Ya kan bentar lagi jadi suami juga" ditekannya password apartemenku hingga pintu apartemenku terbuka, ternyata. .

Aku memandang sebal pada Joe yang berkelakuan seenaknya sendiri, dia pikir ini apartemennya?

------
Tidak seperti kemarin, pagi ini saat aku keluar dari kamar, Joe sudah duduk di meja makan dengan segelas kopi ditangan dan rambut yang tampak basah.

"Morning sunshine" sapanya saat melihatku, senyum lebar terkembang diwajahnya, mungkin dia berpikir aku akan bahagia melihatnya dipagi hariku.

"Enggak usah pake sunshine-sunshine segala, udah kan tidurnya? sana pulang!" Usirku, sebelum dia semakin merasa nyaman disini.

"Enggak mau ngasih aku sarapan dulu gitu?" Tanya Joe dengan wajah memelas andalannya.

"Secangkir kopi udah cukup kan? Habisin kopi kamu" kataku sambil melirik ke cangkir kopinya yang masih berisi 3/4 cangkir.

"Gini deh, aku kasih kamu pilihan, kamu mau masakin aku nasi goreng spesial tanpa gosong, tanpa keasinan dan tanpa kepedesan, atau kamu mau aku nikahin sore ini juga" ucapnya ringan seolah sedang menyuruhku memilih coklat atau  keju sebagai toping cincau galau.

"Kamu enggak bisa paksa aku Joe, lagian nyiapin pernikahan enggak akan cukup waktu sehari" tolakku kekeuh.

"Bahkan aku bisa datengin penghulu kesini dalam waktu setengah jam" kata Joe santai namun serat akan ancaman.

"Fine, kamu menang" finalku dengan wajah cemberut dan kaikhlasan yang hanya 20%.

"Ingat ya sayang, garam sama ladanya jangan sengaja dibanyakin" bisiknya pelan ditelingaku saat aku sedang mengaduk-aduk nasi goreng pesanan yang mulia Joe yang terhormat di wajan.

"Dokter kok banyak nyimpen makanan instant sih?" Dumelnya sambil membongkar isi kabinet tempat aku menyimpan mie instant, bubur instant, hingga saus pasta instant.

"Nyuruh pasiennya jaga kesehatan, lah dia sendiri  enggak jaga kesehatan" ingin rasanya aku menyumpal mulut Joe dengan apa saja, asal dia bisa diam.

"Kayak maling teriak maling rnggak sih? Atau apa ya peribahasa yang cocok buat orang yang menyerukan kebaikan untuk orang lain tapi dianya sendiri malah bertolak belakang kelakuannya" panas banget ini kuping denger omongan Joe, memang dia ngomongnya pelan terkesan ngedumel, ya tapi tetap aja aku bisa dengar.

"Apa gue buang aja ya semua ini? Ah buang aja lah, apa enaknya juga makan makanan instant, eh tapi mending kasih ke anak-anak aja lah" aku menggenggam erat piring yang berisi nasi goreng, melihat semua isi kabinetku sudah berpindah kedalam 4 plastik hitam besar. LANCANG.

"Makan" perintahku ketus.

Kuperiksa isi plastik yang masing-masing sudah terpisah menurut jenisnya.

"Ini mau diapain?" Tanyaku pasrah.

"Ikut aja nanti" jawab Joe disela kunyahannya.

------

Mobil Joe berhenti didekat jembatan. Joe turun dari mobil tanpa menghiraukanku, dikeluarkannya satu yang berisi mie, bubur dan rendang kalengan.

"Papa Joe!!!!" teriak anak-anak jalanan dengan baju compang-camping berlari kearah Joe yang merentangkan tangannya bersiap menyambut pelukan dari anak-anak jalanan, tanpa ekspresi jijik sama sekali.

"Halo baby-babynya papa, hari ini apa kabar semuanya?" Tanya Joe dengan wajah gembiranya.

"Baik papa" jawab mereka serentak.

"Itu siapa pa? Istri papa ya?" Tanya gadis kecil imut dengan pipi bakpaonya, ini pipi loh ya yang kaya bakpao, bukan jidat.

"Emang Lia pernah denger berita papa nikah?" Tanya Joe seraya mengangkat bocah bernama Lia tadi kedalam gendongannya.

"Enggak" jawab Lia dengan gaya menggemaskan.

"Lagian kalau nanti papa nikah, kalian semua pasti papa undang"

"Beneran papa?" Tanya anak-anak tadi dengan binar bahagia diwajah mereka.

"Iya dong" diturunkannya Lia dari gendongannya dan berjongkok didepan anak-anak  jalanan tadi.

"Tapi pa, kita enggak punya baju bagus, nanti papa pasti malu kalau kita datang ke nikahan papa" ucap salah satu anak laki-laki yang usianya mungkin sudah 10 tahun dengan wajah yang murung.

"Papa enggak akan menikah kalau kalian enggak dateng, papa janji" ini sungguh menyentuh hatiku.

"Oh iya, kenalin ini namanya Tante Iren, Iren, kenalin anak-anak aku" kata Joe mengenalkan aku pada anak-anak jalanan tadi, mereka tampak ragu menyapaku.

"Halo sayang, nama tante Irena, kalian boleh panggil tante Iren" kataku seraya merentangkan tanganku, berharap mereka mau memelukku.

"Aku Lia tante" kata Lia seraya memelukku setelah mendapat anggukan dari Joe.

"Lia boleh panggil tante mama?" Bisik Lia ditelingku saat dia masih memelukku.

"Enggak apa-apa kok tante, kalau enggak boleh" ucapnya berusaha menutupi kecewanya karena melihatku yang tampak ragu.

"Boleh kok sayang" jawabku. Senyum yang tadi sempat hilang, kini  kembali  terbit diwajahnya.

"Aku Arnes" kata anak laki-laki yang berumur 10 tahun tadi seraya mencium pipi kananku.

Satu persatu mereka semua memelukku, dan aku dengan senang hati menerima pelukan 15 anak-anak tadi.

"Papa Joe, kata tante Iren, Lia boleh manggil tante Iren Mama" adu Lia dengan gembira.

"Oh ya? Berarti tante Iren harus nikah sama Papa dulu dong, baru kalian boleh manggil tante Iren Mama" kata Joe dengan nada jahil.

"Tante Iren, mau ya nikah sama Papa Joe, biar kita bisa punya Mama" bujuk Deren dengan wajah sendunya.

"Iya Tante, kita pengen tau rasanya punya Mama" Arnes ikut membujukku.

"Mau ya tante" seru anak-anak yang lain. Sialan, dia memanfaatkan anak-anak ini untuk menekanku. Memangnya kapan aku pernah menolak untuk menikah dengan Joe? Rasanya tidak pernah, seingatku.
------TBC------
I'm back. .
Semoga masih ada yang simpen baby Joe di perpustakaannya. .
Tapi enggak tau ya kapan update lagi. .
I Love You. .

MenikahimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang