7

5.6K 220 3
                                    

Malam berganti pagi, pagi berganti malam hingga beberapa hari lagi pernikahanku.

Semuanya sibuk mengurus pernikahanku yang akan menjadi pernikahan mewah.

Seharusnya Fajar yang menggandengku dipelaminan tapi ternyata aku akan melihat orang lain disampingku, orang lain yang akan menemani tidurku setiap malam dan entah sampai kapan aku akan terus-terusan bersikap dingin pada Galih.

Hari ini aku harus mengambil gaun pengantin yang akan aku pakai pada pernikahanku.

Mama menyuruh Galih menemaniku mengambil gaunnya. Lantas aku hanya diam saja di mobil dan begitu juga dengan Galih.

"Dien?? Kamu baik-baik saja kan?", tanya Galih membuka obrolan.

"Kenapa Lih? Aku baik-baik saja. Memangnya kamu melihat aku seperti sedang sakit?", tanyaku agak ketus.

"Tidak juga, mungkin kamu memang tidak sakit, tapi mungkin hatimu yang sedang sakit menerima kenyataan akan menikah dengan aku, bukan dengan Fajar. Dien, ini bukan kemauanku. Kalau kamu mau, aku batalkan pernikahan kita"

"Aku tidak apa-apa Galih. Kamu tidak usah ungkit-ungkit itu lagi", balasku semakin kesal dengan celoteh Galih.

Dan tiba-tiba saja Galih mengambil ponselnya dan entah siapa yang dia hubungi. Galih mengeraskan volume ponselnya.

Dan hanya hitungan detik setelah tersambung, suara seorang laki-laki terdengar dan kurasa tidak asing ditelingaku.

"Hallo", sapa laki-laki di seberang telpon sana.

"Hallo Fajar? ?", aku kaget ketika Galih menyebut nama Fajar.

Jangan-jangan Galih sudah menceritakan pada Fajar kalau dia calon suamiku.

Dan Galih menyaringkan volume ponselnya sampai aku juga bisa mendengar suara Fajar.

Sungguh aku sangat merindukan Fajar, dan ingin mendengar suaranya. Beruntunglah Galih mengeraskan volume ponselnya.

"Jar, kamu harus pulang secepatnya. Kamu harus pulang sekarang juga. Kalau tidak, kamu tidak akan pernah bisa memiliki Andien lagi. Dia akan menikah Jar dan aku tau dia tidak pernah bisa mencintai orang lain selain kamu. Dia tidak akan pernah bahagia bersama orang lain"

"Tapi Galih, aku tidak bisa pulang tanpa passport. Passport aku disimpen Papa. Papa tidak mengijinkan aku pulang", jawab Fajar dan akupun sudah bisa menerka Fajar akan menjawab seperti itu.

"Kamu egois Jar. Apa kamu tidak pernah berfikir Andien tidak akan bahagia dengan pernikahan ini"

"Dia bisa melewati semuanya Lih. Aku tahu itu. Dia adalah seorang perempuan yang sabar dan siapapun yang menjadi suaminya,aku harap dia akan sabar hidup bersama Andien sampai Andien benar-benar bisa melupakan aku dan aku yakin mereka akan bahagia nantinya. Hanya waktu yang akan bisa menjawab. Maaf Galih, aku tidak bisa pulang. Hatiku sama remuknya dengan Andien, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Maaf".

Dan kata maaf itu mengakhiri perbincangan mereka. Sekuat tenaga aku membendung air mataku dan mungkin mataku sekarang memerah.

"Menangislah jika itu akan membuat kamu lebih tenang", kata Galih mengagetkanku. Ternyata dia tahu kalau aku menahan diri untuk tidak menangis.

"Maaf aku tidak bisa banyak membantu kamu. Cuma itu yang bisa aku lakukan. Dan maaf aku belum mengatakan pada Fajar kalau akulah calon suamimu, sulit bagiku untuk mengatakannya. Aku tidak mau dia menganggapku penghianat. Aku sangat solid padanya sejak SMA. Bahkan aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku sama kamu bertahun-tahun hanya untuk Fajar karena sebenarnya dia sudah suka sama kamu sejak SMA, dan dia selalu mencurahkan isi hatinya padaku, tapi aku janji akan mengatakannya secepatnya", sambung Galih.

Aku segera menghapus air mataku ketika gerbang butik sudah terlihat. Aku turun memasuki butik itu disusul Galih dibelakangku.

"Andien kan? Ini pasti calon pengantin prianya. Pasangan yang sangat serasi. Ayo sekarang gaunnya dicoba dulu. Biar nanti bisa terlihat kekurangan di gaun kamu", sapa pemilik butiknya.

Dan tak ada senyum yang aku tebarkan karena aku memang tidak mengharapkan pernikahan seperti ini. Akupun langsung mengambil gaunnya dan mencobanya begitu juga dengan Galih.

Aku keluar dengan gaun yang sangat indah. Tidak bisa aku pungkiri, aku sangat suka dengan Gaun ini tapi lagi-lagi aku teringat Fajar dan membayangkan dia yang menggandengku seperti impian aku selama ini.

Tapi segera aku tepis pikiran itu, karena pemilik butik sudah memanggilku keluar.

Dan begitu aku keluar, aku melihat Galih diluar sudah mengenakan busana pengantinnya dengan rajutan warna biru, sesuai dengan kesukaanku. Galih memang tampan, tapi entah hatiku tak tergetar sedikitpun.

"Nah sekarang kalian berdua berdiri didepanku layaknya pengantin beneran. Aku koreksi busananya", pinta pemillik butik itu. Dan Galih menghampiri aku.

Aku berusaha tersenyum meskipun sangat terpaksa. Dan di saat pernikahan nantipun aku harus selalu tersenyum dan tidak seperti ini karena Mama akan menjadi saksi pernikahan kita juga.

"Setelah busana pengantinnya kita coba, kita langsug pulang"
Kataku tegas.

Awalnya Galih mengajakku makan siang, tapi aku menolaknya. Aku memilih untuk langsung pulang saja dan Galih mengerti itu.

Tbc.

Demi MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang